Pengamat pertanian dari Universitas Gajah Mada (UGM), Subejo mendorong pemerintah melakukan intensifikasi lahan sawah yang sudah ada, alih-alih membuka lahan food estate secara besar-besaran.
Subejo meyakini, dengan dukungan pendanaan yang memadai, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM), langkah ini dapat menjadi solusi untuk mewujudkan swasembada pangan, seperti yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto.
“Kemarin yang diunggulkan itu misalnya food estate. Food estate juga saya kira bukan satu-satunya jalan. Karena food estate itu kan harus dilihat kesesuaian lahannya di mana. Kemudian luasannya juga mungkin tidak bisa masif sekali,” kata dia saat dihubungi.
Dia mengatakan, pengalaman buruk dari proyek food estate 1 juta hektare di Kualakapuas, Kalimantan Tengah pada tahun 90-an harusnya menjadi pelajaran pemerintah agar lebih cermat dan lebih hati-hati dalam pengembangan pertanian.
“Saya kira food estate untuk daerah-daerah yang memang sesuai dalam skala yang tidak terlalu besar gitu ya, manageable. Itu saya kira memungkinkan,” kata Subejo.
Namun, Subejo menyampaikan, Indonesia mempunyai sawah eksisting seluas 7,4 juta hektare, yang masih dapat dimaksimalkan potensi produksinya.
Dia menjelaskan, berdasarkan data statistik, luas panen di Indonesia pada tahun 2023Â sekitar 10,3 juta hektare dari luas sawah eksisting. Dengan demikian, rasio luas panen dibagi luas tanam masih di bawah dua kali.
Jika 100 persen lahan ini bisa ditanam dua kali, sambungnya, itu akan memberikan tambahan sekitar 4 juta hektare. Jika lebih realistis dan mengasumsikan 80 persen dari lahan bisa ditanam dua kali, akan ada tambahan sekitar 2,8 juta hektare.
“Ini kayaknya kan malah yang sangat serius mau digarap yang membuka lahan baru yang belum teruji kapasitasnya. Sementara yang betul-betul eksisting sawah kurang mendapat perhatian,” kata Subejo.
Oleh karen itu, Subejo menyarankan pemerintah untuk serius mengintensifkan sawah eksisting dengan menyediakan fasilitas air, tata kelola air yang baik, teknologi yang memadai, dan pembiayaan yang optimal.
“Kalau itu dilakukan malah mungkin ini jalan keluar, artinya biayanya tidak semahal kalau membuka lahan baru. Kemudian potensi keberhasilannya saya kira jauh lebih besar karena sudah sawah eksisting,” kata Subejo.
Dia juga menekankan pentingnya riset. Dengan program penelitian yang kuat dan kolaborasi dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, diharapkan dapat menghasilkan inovasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
“Misalnya padi yang lebih tahan air, padi yang misalnya tahan terhadap keringan, padi yang tahan terhadap genangan, iklim itu kan saya kira tuntutan ke depan. Jadi riset-risetnya harus lebih serius,” kata Subejo.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah pendampingan untuk petani. Meskipun teknologi dan irigasi sudah diperbaiki, petani tetap memerlukan dukungan. Pendampingan ini penting agar mereka dapat menggunakan pupuk, mengatur air, dan memilih benih dengan lebih tepat.
“Kalau infrastruktur bagus pun, kalau petani tidak didampingi ya mungkin juga tidak sesuai harapan. Makanya nanti penyuluhan pertanian saya kira akan menjadi ujung tombak, bagaimana dia nanti akan mendampingi petani, teknologinya, tata airnya, pengelolaan sistem budidaya,” kata Subejo.
Dia meyakini jika pemerintah memberikan perhatian yang cukup untuk melatih dan menguatkan kapasitas penyuluh, hal ini akan saling melengkapi dengan infrastruktur dan teknologi yang ada.
“Kalau itu juga diperhatikan dengan baik, para penyuluh kita dilatih lagi, dikuatkan kapasitasnya, diberi perhatian yang cukup, itu saya kira akan saling melengkapi. Jadi infrastruktur, teknologi, lalu SDM melalui penyuluhan,” pungas Subejo.