
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) menyangkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang dinilai meresahkan dan berpotensi merugikan petani sawit rakyat.
Perpres ini membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang bertugas menangani serta memperbaiki tata kelola kegiatan pertambangan, perkebunan, dan aktivitas lain yang berlangsung di kawasan hutan.
Namun di lapangan, pelaksanaan aturan ini justru menimbulkan polemik di kalangan petani. Ketua Umum Aspekpir, Setiyono mengungkapkan, banyak lahan sawit yang telah memiliki sertifikat resmi tiba-tiba diklaim masuk dalam kawasan hutan oleh Satgas PKH.
“Kami ini selaku petani sawit perusahaan rakyat yang dulu program PIR transmigrasi, kan sudah bersertifikat. Sudah 30 tahun bersertifikat, eh tahu-tahu ditunjuk jadi kawasan. Nah, ini kan bikin kami jantungan,” kata Setiyono ditemui di Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (7/5).
Lebih parah lagi, lanjut Setiyono, lahan sawit yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Satgas PKH tidak lagi bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), padahal banyak kebun sudah masuk usia tua dan butuh peremajaan segera.
“Untuk dijaminkan ke bank juga nggak bisa. Nah, itu kan jadi kendala kami, padahal petani sawit adalah tulang punggung ekonomi kita,” tegas Setiyono.
Setiyono mengatakan, Aspekpir telah mengumpulkan data awal terkait dampak penetapan kawasan hutan oleh Satgas PKH. Di Provinsi Riau saja, kata dia, tercatat sudah ada sekitar 4.000 hektare lahan sawit milik petani yang terdampak.
“Contohnya satu koperasi, punya lahan seribu hektare. Eh, tahu-tahu 80 hektare masuk kawasan hutan,” ujar Setiyono.
Setiyono mengingatkan, kebijakan ini bila tidak segera dievaluasi dapat menghambat pencapaian target produksi 100 juta ton CPO yang menjadi bagian dari visi Indonesia Emas pada 2045.
“Kita sepakat mau menuju Indonesia Emas 2025, tetapi dengan adanya ini, bisa nggak tercapai itu. Sekarang produktivitas kita hampir 50 juta ton, dan pada 2045 targetnya menjadi 100 juta ton, bisa nggak tercapai kalau peremajaan juga terhambat,” kata Setiyono.
Selain tidak dapat mengajukan program PSR, Setiyono juga mencatat, sejak diberlakukannya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 pada akhir Februari atau awal Maret tahun ini, harga sawit terus mengalami penurunan.
“Cenderung setelah Perpres ini diterbitkan, harga sawit turun tiap hari. Tiap hari sudah turun. Jadi, memang cenderung turun. Kenapa? Karena industri kelapa sawit tidak punya kepastian,” ujar Setiyono.
Setiyono sendiri mengaku belum bisa sepenuhnya memastikan apakah penurunan harga sawit ini disebabkan oleh Perpres atau faktor lain. Namun, dia merasakan adanya penurunan harga yang cukup signifikan sejak Perpres tersebut diterbitkan.
“Ya ini apakah dampak Perpres ini atau dampak lain saya kurang begitu paham. Tapi yang jelas kami rasakan sebelumnya harga naik melonjok. Sekarang sudah mulai menurun. Hampir tiap hari harga CPO turun,” ungkap dia.
Setiyono berharap, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan Perpres Nomor 5 Tahun 2025, pemerintah dapat menyelesaikan masalah yang ada, bukan justru menambah keresahan di kalangan petani.
“Itu harapan kita. Supaya diselesaikan dengan baik, supaya masyarakat bisa tenang. Apalagi sesuai undang-undang, kekayaan bumi dan laut adalah untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai kami jadi tidak makmur lagi gara-gara peraturan-peraturan ini,” pungkas Setiyono.