Akademisi hingga Pakar Hukum Kaji Dampak Perpres Penertiban Kawasan Hutan

0
Universitas Pancasila melalui Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH FH) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan” di Aula Nusantara Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (7/5)

Dalam rangka mengkaji secara kritis Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, Universitas Pancasila melalui Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH FH) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan”.

Diskusi yang berlangsung di Aula Nusantara Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (7/5) mempertemukan unsur pemerintah, akademisi, pakar hukum, aktivis lingkungan, perwakilan petani, masyarakat adat.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Eddy Pratomo menyampaikan, Perpres No. 5 Tahun 2025 yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, memang membawa semangat percepatan penyelesaian persoalan tumpang tindih kawasan hutan.

Meski demikian, regulasi ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi pengabaian prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial yang telah ditegaskan dalam konstitusi, UU Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

“FGD ini bertujuan untuk mengkaji dampak Perpres ini, khususnya terhadap hak masyarakat sekitar hutan, status kawasan hutan, dan perlindungan ekosistem,” ujar Eddy.

Dia berharap, melalui paparan para ahli, diskusi interaktif, dan sesi tanya jawab dengan peserta, FGD ini akan menghasilkan pemetaan persoalan yang komprehensif serta rekomendasi strategis untuk memperkuat tata kelola kawasan hutan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

Eddy juga menegaskan, melalui FGD ini, Universitas Pancasila berkomitmen untuk mendorong reformulasi kebijakan kehutanan yang lebih berpihak pada perlindungan lingkungan hidup serta penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.

“FGD ini diharapkan menjadi ruang dialog konstruktif untuk merumuskan kebijakan kehutanan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial, ekologis, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang,” tambah dia.

Sebagai pembicara pertama dalam FGD ini, Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Ardito Muwardi menjelaskan, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dibentuk dalam situasi yang dianggap mendesak oleh pemerintah.

“Satgas ini diharapkan bisa menjadi booster untuk mendorong penyelesaian carut-marut kawasan hutan yang tumpang tindih dengan usaha lain seperti perkebunan dan pertambangan, yang selama 79 tahun belum pernah terselesaikan,” ujar Ardito.

Menurut dia, pembentukan Satgas PKH juga berkaitan dengan kebutuhan negara akan pemasukan untuk mendukung pembangunan nasional. Namun, dia menekankan bahwa jika langkah ini dipandang sebagai sebuah inovasi, sangat penting mendapat masukan dan penguatan dari berbagai pihak.

“Tujuan akhirnya tetap untuk kemakmuran rakyat. Tapi kita juga perlu mendorong kementerian dan lembaga terkait agar segera menyelesaikan sengketa produk hukum yang tumpang tindih, sehingga persoalan bisa diurai tanpa melanggar hak-hak masyarakat dan tetap menjaga iklim investasi,” jelas Ardito.

Adapun hingga 24 April 2025, Satgas PKH telah memverifikasi total lahan seluas 620 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 399 ribu hektare telah diproses, dan sekitar 221 ribu hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas pada tahap pertama.

Pada tahap kedua, Satgas PKH merencanakan penyerahan tambahan seluas 216 ribu hektare kepada PT Agrinas, serta penguasaan kembali oleh negara atas lahan seluas 75 ribu hektare.

Rencana kerja tahap kedua ini akan difokuskan di enam provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luasan sasaran mencapai 1 juta hektare.

Sementara itu, Ketua Aspekpir Indonesia, Setiyono menilai, terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025 justru menimbulkan keresahan di kalangan petani sawit, terutama mereka yang lahannya telah bersertifikat resmi.

“Kami ini selaku petani sawit perusahaan rakyat yang dulu PIR Transmigrasi, kan sudah bersertifikat. Sudah 30 tahun bersertifikat, eh, tahu-tahu ditunjuk jadi kawasan hutan. Nah, itu kan kami jadi jantungan,” ujar Setiyono.

“Nah itu kan jadi kendala besar kami, padahal kelapa sawit adalah tulang punggung ekonomi kami, petani sawit,” tegas Setiyono.

Karena itu, dia berharap, dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perpres No. 5 Tahun 2025, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tidak menambah keresahan di kalangan petani, tetapi justru memberikan solusi yang mendorong kesejahteraan mereka.

“Apalagi, sesuai undang-undang adalah semua kekayaan bumi laut, itu adalah kemampuan rakyat. Jangan kami jadi tidak mamur lagi gara-gara peraturan-peraturan ini,” imbuh dia.

Di tempat yang sama, pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino, menegaskan bahwa Perpres Nomor 5 Tahun 2025 secara eksplisit menjadikan kawasan hutan sebagai objek utama penertiban.

Dia menjelaskan bahwa persoalan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari sejarah penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1982, yang saat itu berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia.

Padahal, sebelum peta TGHK tersebut diterbitkan, sudah ada peta-peta administrasi tanah yang lebih dulu digunakan masyarakat dan pemerintah daerah. Namun, justru dari peta TGHK inilah lahir dasar penetapan kawasan hutan secara nasional.

“Cuman masalahnya sekarang ini apa yang diamantkan dalam TGHK itu tidak terselesaikan, ada diktum-diktum di dalam menentukan kawasan hutan itu sampai sekarang belum dijalankan. Artinya dijalan tapi belum bisa optimal,” kata dia.

Misalnya, kenapa hak-hak masyarakat tetap ada di sana yang tidak terselesaikan, malah menimbulkan konflik, karena sesungguhnya menentukan kawasan hutan itu sudah menjadi kawasan hutan atau belum, itu tidak serta-merta bisa diputuskan begitu saja, karena ini adalah produk administratif.

“Karena ini adalah produk administratif, maka langkah-langkah dalam menentukan kawasan hutan yang ditunjuk juga harus memperhatikan adanya tata batas. Misalnya, jika saya menunjuk seorang wanita dan mengatakan dia istri saya, apakah dia benar-benar istri saya hanya dengan pernyataan itu? Begitu juga dengan penunjukan tanah, jika saya menunjuk tanah tanpa tindak lanjut, padahal di situ sudah ada hukum lain yang berlaku. Maka, tata ruang sangat penting. Tata ruang ini adalah dasar yang harus melibatkan pemerintah daerah,”  jelas dia.

Lebih lanjut, Sadino mengharapkan agar cara kerja Satgas PKH kali ini berbeda dari pendekatan yang diterapkan sebelumnya. Dia menekankan perlunya mematuhi norma-norma dalam kehutanan dengan benar.

“Jika pengukuhan kawasan dilakukan, hak masyarakat yang terdampak harus diselesaikan terlebih dahulu. Contohnya, seperti yang dialami oleh Ketua Aspekpir dan pelaku usaha perkebunan lainnya, yang sudah menjalani transmigrasi dan diberikan hak atas tanah, namun kini tanah tersebut masuk dalam kawasan hutan. Terhadap hak atas tanah seperti SHM, HGU, HGB mesti di-enclave yang harus diselesaikan, apalagi hak yang diberikan oleh pemerintah/ negara yang merupakan hak konstitusi bagi pemegang hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan UUPA tahun 1960,” ujar Sadino.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini