Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI), Dedi Junaedi mengatakan, petani swadaya masih kesulitan mengakses benih unggul dan sarana budidaya yang berkelanjutan.
Kurangnya akses ini menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi petani sawit swadaya dalam upaya meningkatkan produktivitas mereka.
“Kualitas bibit sangat memengaruhi hasil panen, dan sayangnya banyak petani yang menggunakan bibit aspal atau kurang berkualitas,” ujar Dedi saat membuka acara Focus Group Discussion (FGD) Sawit Berkelanjutan Volume 16.
Acara bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan” ini diadakan oleh media InfoSAWIT dan didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Jakarta, Jumat (1/11).
Dedi menekankan, investasi awal yang tinggi pada perkebunan sawit dapat menjadi beban bagi petani sawit, terutama jika benih yang ditanam tidak produktif.
Oleh karena itu, dia mengungkapkan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk memajukan sektor sawit dan mendukung kesejahteraan petani, khususnya di daerah transmigrasi.
Dedi menambahkan, sektor sawit telah menjadi salah satu sumber utama pendapatan dan lapangan pekerjaan di banyak wilayah, serta penghasil devisa terbesar kedua setelah batu bara.
Di sisi lain, GPPI juga mendorong sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO dan ISPO sebagai standar untuk memasuki pasar ekspor dan menjamin harga jual yang lebih baik.
Namun, tantangan pendanaan masih menghambat petani swadaya untuk memenuhi standar sertifikasi tersebut.
“Saat ini pendampingan dari pemerintah sangat penting untuk memperkuat kelembagaan dan membekali petani dengan pengetahuan serta praktik budidaya terbaik,” kata Dedi.
Selain itu, lanjut Dedi, GPPI mendorong pembentukan kelembagaan koperasi di kalangan petani sawit agar mereka dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam menjual hasil panen.
“Petani sawit swadaya perlu naik kelas, bukan hanya sebagai penjual tandan buah segar, tapi juga harus mampu menghasilkan produk olahan sawit yang memiliki nilai tambah,” tambah Dedi.
Ke depan GPPI berencana mempercepat pelaksanaan program sertifikasi karbon untuk perkebunan sawit, yang diharapkan akan mendukung target pemerintah dalam pengurangan emisi karbon nasional.
Dedi menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan keberlanjutan sektor sawit.
GPPI berharap upaya ini akan meningkatkan kesejahteraan petani sawit dan menjadikan kelapa sawit Indonesia sebagai komoditas unggulan yang berdaya saing global.
Sementara, Pemimpin Redaksi InfoSAWIT, Ignatius Ery Kurniawan, menyinggung perkembangan sektor sawit yang dinilai telah memberikan dampak besar pada perekonomian daerah terpencil di Indonesia.
Menurutnya, keberadaan perkebunan sawit telah mengubah wilayah-wilayah pedesaan menjadi desa maju yang bahkan bisa berkembang menjadi kota atau provinsi, meski perjalanan ini membutuhkan waktu puluhan tahun.
“Keberpihakan sektor sawit hari ini bukan lagi sekadar membangun kebun, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi ekonomi masyarakat,” ujar Ery.
Saat ini, dari 38 provinsi di Indonesia, sebagian besar memiliki pendapatan daerah yang didukung oleh sektor kelapa sawit. Hal ini, lanjut Ery, memperlihatkan bahwa sektor sawit memiliki peran strategis dalam memajukan daerah.
Marselinus Andry dari Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan pentingnya penguatan legalitas dan kelembagaan untuk mendukung petani sawit skala kecil.
Menurutnya, sebagian besar petani sawit swadaya masih menghadapi berbagai kendala terkait kepemilikan lahan dan posisi tawar dalam rantai pasok sawit.
“SPKS berupaya membantu para petani untuk mendapatkan hak kepemilikan yang lebih kuat melalui pendataan dan sertifikasi lahan,” kata dia.