Total kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 6 juta ton, sementara produksi nasional hanya 2,2 juta ton per tahun. Akibatnya, ada defisit gula sebesar 3,8 juta ton yang harus dipenuhi dari impor.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah memutuskan akan mengimpor 4.641.000 ton. Volume impor ini terinci atas 991.000 ton gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi; gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri makanan dan minuman sebanyak 3,6 juta ton; serta 50.000 ton lagi gula untuk kebutuhan khusus.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, berdasarkan hasil rapat terbatas (ratas) terkait neraca komoditas, kuota impor bahan baku gula kristal rafinasi (GKR) untuk tahun depan diputuskan akan ditambah menjadi 3,6 juta ton atau naik 10 persen dibandingkan kuota tahun ini yang sebesar 3,27 juta ton.
Secara keseluruhan, lanjut Zulkifli, pemerintah akan mengimpor 4.641.000 ton gula yang terdiri atas 991.000 ton gula kristal putih (GKP), GKR sebanyak 3,6 juta ton, dan 50.000 ton gula kebutuhan khusus.
“Sekarang sudah diputuskan, kami sudah melakukan rapat terbatas (ratas), untuk tahun depan akan mengimpor GKP 991.000 ton, hampir satu juta ton, 3,6 juta ton gula rafinasi, ada kebutuhan khusus kira-kira 50.000 ton, itu gula, sudah hapal saya,” ungkap Mendag, saat meninjau harga sembako di Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.
Adapun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kebutuhan gula di dalam negeri pada 2022 mencapai sekitar 6,48 juta ton yang terdiri atas 3,21 juta ton gula kristal putih (GKP) dan 3,27 juta ton gula kristal rafinasi (GKR).
Dari hasil rapat koordinasi terbatas atau Rakortas Tingkat Menteri pada 26 Oktober 2021 lalu, disepakati alokasi impor gula mentah untuk bahan baku gula rafinasi dan konsumsi tahun 2022 sebanyak 4,37 juta ton. Rinciannya, alokasi untuk gula kristal rafinasi atau GKR ditetapkan sebanyak 3,48 juta ton, sedangkan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi sebanyak 891,627 ton.
Sebelumnya, Dirjen Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika mengatakan, kemampuan produksi pabrik gula eksisting relatif stagnan dengan rata-rata hasil produksi untuk 5 tahun terakhir sekitar 2,2 juta ton per tahun.
Angka produksi tersebut masih jauh di bawah total kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 6 juta ton, sehingga masih ada defisit gula sebesar 3,8 juta ton yang harus dipenuhi dari impor.
“Angka produksi ini masih jauh di bawah total kebutuhan gula nasional sebesar kurang lebih 6 juta ton sehingga masih ada defisit gula sebesar 3,8 juta ton yang harus dipenuhi dari impor,” kata Putu.
Dari asumsi pertumbuhan kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman, ujarnya, diproyeksikan meningkat sekitar 5%-7% per tahun. Seiring kenaikan pertambahan penduduk Indonesia yang meningkat setiap tahun maka pertumbuhan kebutuhan gula nasional juga turut meningkat.
“Dengan pertumbuhan kebutuhan gula nasional yang semakin meningkat, maka pada tahun 2030 diproyeksikan kebutuhan gula nasional akan mencapai 9,81 juta ton. Kami terus berupaya agar dapat memfasilitasi investasi pengembangan dan pembangunan pabrik gula baru maka akan ada kekurangan gula di dalam negeri sebesar 7,13 juta ton,” urainya.
Stok GKR Menipis
Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mengatakan, industri makanan dan minuman (mamin) kesulitan mencari stok gula rafinasi, importasi gula menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan industri mamin di dalam negeri.
Direktur Eksekutif AGRI, Gloria Guida Manalu pun menyatakan bahwa jika tidak dengan impor permintaan gula rafinasi tidak bisa terpenuhi seiring dengan bertambahnya jumlah industri mamin saat ini.
“Saat ini pertumbuhan industri mamin terus bertambah, sementara seperti kita ketahui sendiri bahan baku untuk produksi gula rafinasi adalah gula kristal mentah yang mana di dalam negeri kita sendiri masih kekurangan stok,” katanya.
Menurut Gloria, kegiatan importasi gula sudah berlangsung lama dan bahkan kuota impornya meningkat seiring dengan bertambahnya industri-industri mamin tiap tahunnya. Seperti tahun 2023 mendatang, beber Gloria, besaran kuota impor gula naik 4% dari sebelumnya.
“Tanggal 9 Desember kemarin kita sudah Rakortas (rapat koordinasi terbatas), ada penambahan besaran kuota 4% untuk tahun depan. Karena adanya kenaikan pertumbuhan industri mamin tadi,” jelas Gloria.
AGRI mengharapkan pemerintah bisa segera mengeluarkan persetujuan impor (PI) bahan baku gula rafinasi untuk kebutuhan industri 2023 sebelum tutup tahun 2022.
“Sisa stok gula rafinasi di dalam negeri sisa 30.000 ton hingga akhir tahun 2022. Jadi otomatis persetujuan impornya harus cepat diterbitkan paling lama di akhir bulan Desember 2022,” pinta Gloria.
Permintaan tersebut terkait dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk proses pengiriman dari Brazil ke Indonesia, yakni mencapai sekitar 40 hari. Tetapi karena adanya konflik perang Rusua-Ukraina maka diproyeksikan akan lebih dari 40 hari.
Maka, jika tidak diterbitkan segera, tahun depan industri mamin akan kesulitan memperoleh stok gula konsumsi di mana itu menjadi bahan baku produksi mamin.
“Sampai sejauh ini kita perkirakan sampai di akhir bulan Desember 2022 stok gula rafinasi di 11 anggota AGRI sekitar 30 ribu ton. Dengan kata lain stok dalam negeri cukup sampai dengan akhir tahun, tidak cukup kalau untuk di teruskan ke tahun depan,” kata dia.
Ditambahkannya, kebutuhan gula rafinasi bagi industri mamin di Indonesia per bulannya berkisar 250.000-280.000 ton. Otomatis jika sisa stok gula rafinasi hanya 30 ribu ton, maka industri mamin kekurangan stok bahan baku.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia telah mengimpor 5,53 juta ton gula pada 2020. Dari jumlah tersebut, impor gula paling banyak berasal dari Thailand, yakni 2,02 juta ton atau 36,59% dari total volume impor gula tahun bersangkutan.
Tolak Impor Gula
Petani tebu mulai resah dengan rencana impor gula sebanyak 991.000 ton yang bakal direalisasikan oleh pemerintah pada 2023. Para petani mensinyalir impor tersebut erat kaitannya dengan Pemilu 2024.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun, menjelaskan, rencana pemerintah melakukan impor besar-besaran seringkali terjadi menjelang Pemilu. Tahun 2018, misalnya, realisasi impor gula mencapai 5 juta ton yang di tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 4 juta ton, bahkan 3 juta ton.
“Impor besar ini selalu datang setiap 5 tahun. Dulu impor terbesar tahun 2018 dan 2013. Impor besar-besaran selalu menjelang Pemilu,” ungkap dia.
Ditambahkannya, sejatinya pemerintah tidak perlu melakukan impor gula lagi, karena dengan stok nasional yang tersisa dari tahun sebelumnya ditambah produksi nasional sudah mencukupi. Untuk stok nasional 2021 tersisa 1 juta ton. Dengan penambahan impor gula pada 2022 sebesar 150.000 gula kristal putih berarti tersisa 1,1 juta ton.
“Dengan ditambah lagi impor hampir 1 juta ton raw sugar [980.000 ton] berarti tahun 2022 ada sekitar 2 juta ton lebih, sedangkan produksi gula dalam negeri tahun 2022 ada sekitar 2,45 juta ton. Berarti di awal Januari-Desember 2022 total ada 4,6 juta ton (impor+produksi nasional),” papar Soemitro.
Menurut dia, konsumsi gula nasional kurang lebih 250.000 ton per bulan atau sekitar 3 juta ton per tahun. Berarti tersisa 1,6 juta ton hingga akhir tahun 2022. “Artinya kita tidak perlu impor karena bisa mencukupi hingga bulan ke 7 atau 8 di tahun 2023. Belum lagi April, Mei, Juni sudah memasuki masa panen,” katanya lagi.
Gula tersebut, lanjut dia, belum ditambah dengan gula rafinasi yang bocor masuk ke gula konsumsi sekitar 300.000 ton per tahun dari total 3 juta ton. “Sebetulnya kita tidak perlu impor. Itu matematika mudah. Jangan ditanya itu tempatnya di mana saja. Kita kan di rumah masing-masing punya gula, belum di pedagang. Itu stok nasional juga. Ada di ritel-ritel, toko kelontong itu punya juga gula, di pasar tradisional. Jangan hanya menghitung yang ada di pabrik gula saja,” katanya. ***