Produksi Sawit Berkelanjutan Jadi Tuntutan Konsumen Global

0
kebun pabrik kelapa sawit

Saat ini di beberapa negara konsumen minyak nabati dunia mulai muncul kesadaran dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan, seperti inisiasi yang dilakukan India dengan Sustainable Palm Oil Coalition for India (India-SPOC) dan Jepang.

Kabar dari Bursa Pasar Derivatif Malaysia beberapa waktu lalu, menjadi potret buram bagi bisnis CPO yang harganya mengalami terjun bebas. Kondisinya, hampir mendekati level terendah seperti 30 November 2018, yakni sebesar RM 1970 per ton.

Akibat menurunnya harga CPO, berbagai aktivitas perkebunan banyak mendapatkan hambatan. Berkurangnya pendapatan yang diterima pekebun dari menjual hasil panennya, menjadi pemicu utama dari melesunya aktivitas perkebunan kelapa sawit.

Alhasil, hasil panen Tandan Buah Segar (TBS), ikut anjlok di kemudian hari. Pemilik perkebunan kelapa sawit, baik petani maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit, sama-sama tidak bisa melakukan banyak aktivitas perawatan yang menjadi rutinitasnya.

Perawatan kebun dan pemeliharaan pokok tanaman yang membutuhkan dana lumayan besar, cenderung terabaikan saat harga jual CPO terjungkal. Akibat jatuhnya harga CPO dunia, juga berakibat merosotnya produksi minyak sawit nasional. Lantaran biaya perawatan dan pemeliharaan kebun sawit tak mampu lagi dilakukan. Padahal, tuntutan pengelolaan berkelanjutan terus dilakukan oleh konsumen CPO terutama dari Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Musdhalifah Machmud
Musdhalifah Machmud : Deputi Menko bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian. (DOK. HORTUS)

Deputi Menko bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Musdhalifah Machmud mengatakan, tanpa diminta oleh Uni Eropa dan AS, pemerintah terus melakukan proses perbaikan tata kelola perkebunan sawit dengan menerapkan berbagai cara. Salah satunya dengan memperbaiki pola budidaya yang dilakukan petani lewat program peremajaan sawit rakyat.

“Di mana pogram ini bertujuan, selain untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat juga guna melakukan pandataan luasan lahan petani. Data pekebun saat ini menjadi penting, dan kami sedang melakukan kerjasama dengan lembaga terkait seperti BIG dan kementerian terkait,” kata Musdhalifah dalam FGD Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 3 dengan tema “Peluang Pasar Sawit Berkelanjutan Indonesia”, baru-baru ini.

Musdhalifah merujuk informasi dana hibah untuk program peremajaan sawit rakyat hingga tahun 2019, sebanyak 28.276 ha telah mendapatkan dana PSR, lantas sekitar 39.989 ha proses penyaluran dana PSR di BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dan sejumlah 16.960 ha dilakukan verifikasi bertahap melalui aplikasi PSR.

Selain peremajaan sawit rakyat, komitmen pemerintah terhadap lingkungan juga dilakukan misalnya dengan penerapan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mana semenjak 2011 sampai 2019, realisasi perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi ISPO seluas 4.115.434 hektar (Ha). Atau 29,3% dari total lahan perkebunan kelapa sawit 14,3 juta ha. Sedangkan produksi CPO yang telah tersertifikasi ISPO mencapai 11,57 juta ton CPO atau 31% dari total produksi CPO 37,8 juta ton/ha.

Sementara Managing Director Sustaiability and Strategic Stakeholder Engagement Golden Agri Resources Ltd, Agus Purnomo mengatakan, tekanan terhadap sektor perkebunan kelapa sawit bisa dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, dari pemerintah konsumen minyak sawit, salah satunya berupa muculnya kebijakan RED II dari Uni Eropa serta hambatan dagang lainnya.

Kedua, tantangan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait isu deforestasi, hak asasi manusia dan sosial serta limbah. Kelompok ketiga datang dari konsumen berupa isu kesehatan yang kembali dihembuskan, katanya.

Namun demikian, kata Agus, di beberapa negara mulai muncul kesadaran dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan, seperti inisiasi yang dilakukan India dengan Sustainable Palm Oil Coalition for India (India-SPOC) dan Jepang.

Kondisi demikian, lanjutnya, membuka peluang dalam pemasaran minyak sawit berkelanjutan. Dengan potensi itu, Golden Agri terus memproduksi komoditas sawit yang berkelanjutan. Cara yang dilakukan dengan pendekatan bantuan teknis dan insentif keuangan, untuk program peremajaan kebun sawit yang dikelola petani swadaya. “Kami mendukung misi pemerintah Indonesia untuk meremajakan 200.000 ha lahan perkebunan rakyat, katanya.

Untuk dukungan itu, kata Agus, perusahaan menyiapkan dukungan sebesar 17,5% (35.000 ha) dari target. Caranya dengan program peremajaan petani yang berada di sekitar kebun, meningkatkan produktivitas petani sebesar 5-6 ton CPO/ha/tahun, serta menciptakan proses produksi dan konsumsi yang berkelanjutan melalui kerjasama multi pihak (SDG 12 and 17).

Analis Central Capital Futures, Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, harga CPO melemah lantaran ekspor minyak sawit ke Eropa masih terhadang kampanye hitam. Uni Eropa menyebut ladang CPO di Indonesia ilegal dan menyebabkan pemanasan global.

Selanjutnya, katalis datang dari pertemuan AS-Tiongkok dalam agenda KTT G20 di Osaka, Jepang. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok bakal membaik ada harapan ekspor CPO bertumbuh. Pun sebaliknya. “Terlalu banyak tekanan jadi saat komoditas lain rebound, minyak sawit malah melemah,” ungkap Wahyu.

Dia menambahkan, harga CPO juga tertekan pelemahan harga minyak kacang kedelai. Secara teknikal, Wahyu mengamati indikator moving average (MA)5, MA100, dan MA200 berada di area negatif. Selanjutnya moving average convergance divergence (MACD) masih bearish. Dia meramalkan harga CPO cenderung terkoreksi. ***SH, TOS

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini