Rawan Maladministrasi, Ombudsman Usulkan Pembentukan Badan Nasional untuk Tata Kelola Industri Sawit

0
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika. (Foto: Ombudsman)

Ombudsman RI mengusulkan agar pemerintah segera membentuk Badan Nasional yang mengelola tata kelola industri kelapa sawit secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir, yang berada langsung di bawah kewenangan Presiden RI.

Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika saat menyampaikan Hasil Kajian Sistemik tentang Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di Gedung Ombudsman RI pada Senin (18/11).

Menurut Yeka, saran ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam mendukung program biodiesel. Untuk itu, pemerintah perlu merancang skema pembiayaan yang lebih adil, dengan menetapkan alokasi dana yang seimbang dalam pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Hal ini diharapkan dapat mendukung pembiayaan program biodiesel, sekaligus pemberdayaan petani, seperti melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Sehingga dengan langakah ini dapat tercipta perkebunan sawit berkelanjutan dan memperkuat keberlanjutan pembangunan sektor energi terbarukan di Indonesia,” ujar Yeka.

elain itu, Yeka juga menekankan beberapa hal penting yang perlu segera dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan. Bila perkebunan sawit rakyat sudah memiliki kejelasan status Hak Atas Tanah (HAT), maka lahan tersebut harus dikeluarkan dari kawasan hutan.

Yeka juga mengusulkan perbaikan dalam sistem perizinan dan administrasi tata kelola industri sawit. Pemerintah perlu meningkatkan kinerja dalam pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) bagi pekebun rakyat dan memastikan semua pelaku usaha sawit memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Selain itu, pemerintah perlu segera memperbaiki perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan mengintegrasikan izin tersebut dalam satu kementerian yang mengkoordinasikan industri, dengan rekomendasi teknis dari kementerian terkait.

Lebih lanjut, Yeka mengingatkan bahwa pemerintah perlu segera menyusun kebijakan yang terintegrasi dalam tata niaga hasil produksi kelapa sawit, baik untuk pasar nasional maupun internasional. Pemerintah juga harus menjamin kepastian harga TBS (Tandan Buah Segar) di tingkat petani, baik plasma maupun swadaya, dan memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar ketentuan tersebut.

Selain itu, untuk memastikan keberlanjutan industri, pemerintah harus membangun sistem pungutan yang adil untuk ekspor produk kelapa sawit dan turunannya.

“Semua saran perbaikan ini hanya akan berhasil jika ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam memperbaiki sistem yang ada dan menjamin keberlanjutan perbaikan tata kelola industri sawit,” tegas Yeka.

“Dunia usaha juga harus siap beradaptasi dengan peraturan yang ada, mengutamakan praktik bisnis yang berkelanjutan, dan tidak hanya mengejar keuntungan semata,” tambahnya.

Diketahui, dalam hasil kajian tersebut, Ombudsman menemukan adanya potensi maladministrasi berupa ketidakpastian layanan, pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan layanan, penyimpangan hukum dan ketidakjelasan prosedur dalam tata kelola industri kelapa sawit. 

“Hasil kajian ini bermaksud untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan yang masih ada dalam tata kelola sektor ini khususnya masalah layanan yang diselenggarakan negara. Kajian ini mengidentifikasi sejumlah potensi masalah yang bisa berujung pada maladministrasi,” ucap Yeka.

Berdasarkan hasil penelaahan berbagai keterangan, data, informasi dan regulasi, Ombudsman menyimpulkan berbagai permasalahan kelapa sawit dibagi ke dalam empat aspek. Adapun aspek yang dimaksud antara lain aspek lahan, aspek perizinan, aspek tata niaga dan aspek kelembagaan.

Pada aspek perizinan, Ombudsman menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit.

Luasan lahan overlay tumpang tindih perkebunan sawit dengan kawasan hutan seluas 3.222.350 hektare dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi/kelompok tani perkebunan sawit.

Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, banyak perkebunan sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan Pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” ujar Yeka.

Pada aspek perizinan, permasalahan utama tata kelola industri sawit adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), rendahnya capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan adanya ketidakpastian layanan Persetujuan Teknis (Pertek) Pemanfaatan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit untuk aplikasi ke lahan disebut land application – Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS).

Pasa aspek tata niaga, Ombudsman menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME).

Yeka mengatakan, masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.

Pada aspek kelembagaan, Ombudsman menilai, tata kelola sawit diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi sehingga menimbulkan pemasalahan implementasi di lapangan.

“Tidak terintegrasinya kebijakan ini berpotensi menimbulkan maladministrasi pengabaian kewajiban hukum dan tidak memberikan layanan karena adanya benturan regulasi,” kata dia.

Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat penting, termasuk Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendro Priyono, Wakil Menteri ATR/BPN Petahanan Ossy Dermawan, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, serta Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika.

Selain itu, hadir pula Plh. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Drs. Amran, M.T, Inspektur Utama Kementerian PPN/Bappenas, Trisacti Wahyuni, Asisten Deputi Cadangan Pangan dan Bantuan Pangan Kemenko Bidang Pangan, Sugeng Harmono, serta Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Perekonomian, Moch Edy Yusuf.

Acara ini juga dihadiri oleh Plt. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto, Kepala Biro Hukum Kementerian Kehutanan, Supardi, Secretary General CPOPC, Dr. Rizal Affandi Lukman, Sekjen DPP Apkasindo Dr. Rino Afrino, dan Wakil Ketua Umum APROBI Catra de Thouars.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini