Sekretaris Jenderal Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Rizal Affanfi Lukman, menghadiri Forum Politik Tingkat Tinggi (HLPF) untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di New York, Rabu (10/7).
Kehadiran Rizal di forum ini menandai pertemuan tingkat tinggi pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memfokuskan perhatian pada minyak sawit.
Dalam pidatonya, Rizal memaparkan mengenai kontribusi minyak sawit dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 13 tentang aksi iklim.
Mewakili lebih dari 20 juta pekerja minyak sawit di Indonesia, Malaysia, dan Honduras, termasuk 3 juta petani kecil, Rizal menekankan pentingnya kebijakan inovatif seperti produksi biodiesel dari minyak sawit dalam mengurangi emisi karbon secara keseluruhan.
“Biodiesel dari minyak sawit dapat berkontribusi pada SDG 13 dengan menawarkan alternatif energi terbarukan yang dapat mengurangi emisi karbon secara keseluruhan, terutama di sektor transportasi,” ujar Rizal.
Di Indonesia, papar Rizal, implementasi biodiesel telah mencapai 14 juta kL sebagai bagian dari realisasi energi terbarukan. Pemerintah Indonesia juga terus meningkatkan program biodiesel wajib, dari B30 pada tahun 2020 menjadi B40 pada tahun 2024.
Program ini tidak hanya berdampak positif pada penghematan devisa Indonesia yang mencapai USD 10,7 miliar pada tahun 2023, tetapi juga menciptakan lebih dari 1,1 juta pekerjaan di on-farm dan 12.000 di off-farm serta mengurangi sekitar 34,9 juta ton CO2 melalui inisiatif B35 pada tahun 2023.
“Dengan demikian, program ini tidak hanya berkontribusi pada SDG 13, tetapi juga pada pengurangan kemiskinan (SDG 1) dan penciptaan pekerjaan layak serta pertumbuhan ekonomi (SDG 8),” tambah Rizal.
Di samping itu, minyak sawit terbukti efisien dalam hal hasil per hektare, dengan produksi 6.000 liter biodiesel per hektare yang cukup untuk menggerakkan mobil sejauh 109.000 kilometer.
Rizal juga menekankan bahwa minyak sawit adalah satu-satunya minyak nabati dengan persyaratan sertifikasi yang paling ketat.
“Di Malaysia, industri minyak sawit sangat diatur dengan lebih dari 50 regulasi dan undang-undang, termasuk MSPO. Di Indonesia, sertifikasi ISPO wajib untuk semua jenis perkebunan, dengan prinsip transparansi yang diterapkan dalam pembaruan terbaru MSPO dan ISPO,” ujar Rizal.
Melalui forum ini, Rizal mengajak negara dan perusahaan untuk melihat kemajuan yang telah dibuat oleh Indonesia, Malaysia, dan produsen minyak sawit lainnya dalam menjaga standar keberlanjutan dan mempromosikan kebijakan inovatif untuk mencapai SDGs.
“Kerja sama antar negara sangat penting untuk mengatasi isu degradasi lingkungan tanpa menyalahkan komoditas pertanian tertentu,” sambung Rizal.
Rizal juga menekankan pentingnya investasi dalam mendukung penelitian dan pengembangan (R&D) serta penerapan teknologi untuk produksi minyak sawit rendah emisi, serta mendukung petani kecil dalam menerapkan praktik ramah iklim.
“Kami percaya forum ini relevan untuk memperkuat suara kami, suara petani kecil, petani, pekerja, dan juara SDGs di Indonesia, Malaysia, dan Honduras,” kata Rizal mengakhiri pidatonya.