STDB, Kebun Rakyat, dan Bayang-Bayang Ketidakadilan di Rantai Pasok Sawit

0

Di banyak desa sentra sawit di Sumatra dan Kalimantan, sehelai dokumen kini menjadi penentu nasib petani kecil. Namanya Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya—lebih dikenal sebagai STDB. Dokumen administrasi ini tampak sepele, hanya beberapa lembar kertas dengan peta, tanda tangan camat atau kepala dinas, dan garis batas lahan. Tetapi di balik tampilannya yang sederhana, STDB memikul beban yang kian berat: ia menjadi bukti legalitas, tiket masuk rantai pasok global, sekaligus penentu apakah petani sawit rakyat masih akan punya tempat dalam pasar yang makin menuntut transparansi dan keberlanjutan.

Pemerintah pusat, industri, dan pembeli internasional mendorong STDB menjadi syarat utama ketertelusuran. Alasannya tampak logis. Dunia sedang bergegas menuju rantai pasok tanpa deforestasi, dengan sistem pelacakan yang bisa menunjukkan asal-usul setiap tetes minyak sawit yang masuk ke pabrik pengolahan. Uni Eropa, India, dan sejumlah pasar Timur Tengah bergerak ke arah yang sama: menuntut bukti legalitas lahan dan rekam jejak produksi. Di atas kertas, STDB menjadi instrumen yang menopang pembuktian itu.

Namun, bagi Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar administrasi. Dalam refleksinya, rendahnya penerbitan STDB di kalangan petani mandiri bukan persoalan malas mengurus dokumen atau kurangnya sosialisasi pemerintah daerah. Ia terkait dengan problem struktural yang lebih tua ketimbang sawit itu sendiri: ketidakpastian kawasan hutan, penetapan batas ruang yang tidak tuntas, dan beban kriminalisasi yang mengintai pejabat daerah.

Ketika STDB dipaksakan menjadi syarat mutlak, kata Sudarsono, risiko eksklusi ekonomi menganga. “Jumlah petani yang berpotensi tidak bisa ikut rantai pasok itu sangat besar,” ujarnya. Banyak dari mereka mengelola lahan turun-temurun—kebun yang dibuka ayah dan kakek mereka jauh sebelum peta formal kawasan hutan ditetapkan. Di atas kertas, sebagian kebun itu masuk dalam kawasan hutan. Di lapangan, lahan tersebut telah berubah menjadi kebun produktif, lengkap dengan riwayat kerja keluarga dan catatan jual beli tandan buah segar (TBS) yang panjang.

Masalah muncul ketika pejabat pemerintah daerah harus menandatangani STDB. Mereka memegang tanggung jawab hukum: memastikan legalitas lahan yang tercantum dalam dokumen itu. Jika kemudian ditemukan bahwa lahan itu masuk dalam kawasan hutan, penerbit STDB dianggap melanggar hukum. Ancaman pidana siap mengintai. Di beberapa daerah, bukan hanya pejabat teknis yang was-was, kepala daerah pun enggan mendorong percepatan penerbitan STDB karena risiko tersebut. Lebih aman tidak mengeluarkan dokumen sama sekali ketimbang menghadapi potensi kriminalisasi.

Akibatnya mudah ditebak: proses penerbitan STDB berlangsung lamban, terputus-putus, bahkan berhenti total di sejumlah kabupaten. Petani yang berupaya mengikuti aturan justru terjebak dalam jalan buntu birokrasi. Dokumen yang mereka harapkan menjadi pengakuan negara atas usaha perkebunan mereka tak kunjung terbit. Sementara itu, industri mulai bergerak menuntut legalitas lahan sebagai syarat pasokan. Ketika pasar terus berlari, petani mandiri tercecer di belakang.

Di banyak wilayah, kebuntuan itu terasa nyata. Seorang petani di Kalimantan Barat pernah menunjukkan peta lahan yang ia ajukan untuk STDB. Di lapangan, kebun itu telah dikelola keluarganya sejak akhir 1970-an. Pohon-pohon yang tumbuh sudah generasi ketiga. Tetapi menurut peta kawasan, sebagian lahannya berada di dalam hutan lindung. Ia tak pernah tahu kapan atau bagaimana kawasan itu ditetapkan. Tidak ada papan batas, tidak ada sosialisasi. Namun itulah yang tertulis di atas kertas negara. Berbekal kondisi itu, pejabat daerah tentu enggan menerbitkan STDB. “Saya sudah ke kantor kecamatan tiga kali,” kata sang petani. “Jawabannya selalu: tunggu.”

Situasi seperti ini memperlihatkan jurang besar antara aturan dan realitas. Negara menuntut legalitas, tetapi petani tidak diberi jalan untuk memenuhinya. Lebih ironis lagi, sebagian dari mereka telah membayar pajak bumi dan bangunan puluhan tahun, mengurus surat jual beli, bahkan memiliki bukti lapor panen. Namun karena penetapan kawasan hutan tidak pernah benar-benar dituntaskan, seluruh dokumen itu seakan tidak ada nilainya.

Banyak ahli agraria menyebut persoalan ini sebagai “warisan ketidaksinkronan tata ruang”. Penetapan kawasan hutan yang dimulai puluhan tahun lalu masih menyisakan banyak wilayah abu-abu. Proses pengukuhan kawasan yang semestinya melibatkan verifikasi lapangan, penyelesaian klaim masyarakat, dan penetapan batas fisik di lapangan sering kali berhenti di tengah jalan. Akibatnya, peta kawasan hutan menjadi dokumen sentral yang menentukan boleh tidaknya petani mendapatkan legalitas, padahal dasar penyusunannya sendiri kerap bermasalah.

Dalam konteks sawit, konsekuensi dari ketidakpastian itu sangat besar. Petani mandiri menyumbang sekitar 40 persen produksi nasional. Mereka adalah tulang punggung industri ini. Tanpa kepastian legalitas lahan, seluruh upaya menuju keberlanjutan hanya akan melahirkan ketimpangan baru: industri berbasis perusahaan besar melaju, sementara petani rakyat tercegat di gerbang administrasi.

Padahal, banyak inisiatif global justru menekankan inklusivitas. Pasar Eropa misalnya, meski terkenal ketat, tetap menyebut bahwa keberlanjutan tidak boleh mengorbankan kesejahteraan produsen kecil. Tetapi di lapangan, tanpa penyelesaian masalah agraria, prinsip itu sulit diwujudkan. Sistem ketertelusuran menjadi alat seleksi yang tajam: petani tanpa STDB bisa tidak diterima di pabrik, pedagang pengumpul enggan membeli TBS mereka, dan rantai pasok rakyat perlahan terpinggirkan.

Sudarsono mengingatkan bahwa STDB tidak boleh berdiri di atas dasar yang rapuh. Keberlanjutan sejati memerlukan keadilan hukum. Ia hanya mungkin terwujud jika negara menyelesaikan persoalan legalitas lahan terlebih dahulu—melalui revisi regulasi, penataan ulang kawasan, hingga pengukuhan batas yang transparan dan partisipatif. Setelah itu, barulah STDB dapat berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai pengakuan, bukan penghalang.

Tanpa perombakan struktural itu, STDB akan terus menjadi paradoks. Ia ditujukan untuk menertibkan, tetapi justru melahirkan ketidakpastian. Ia ingin melindungi petani, tetapi malah membuka peluang kriminalisasi. Ia seharusnya memperkuat posisi petani dalam pasar global, tetapi dalam kenyataannya bisa mengunci mereka di luar pagar.

Di ujung refleksinya, Sudarsono mengajukan pertanyaan yang pantas direnungkan para pembuat kebijakan: apakah Indonesia ingin membangun masa depan sawit yang berkelanjutan dengan menyertakan petani sebagai mitra, atau membiarkan mereka tergelincir dari sistem yang kian kompleks? Sebab keberlanjutan bukan sekadar standar teknis; ia memerlukan keberanian untuk membenahi fondasi agraria yang telah lama dibiarkan retak.

Dalam beberapa tahun ke depan, industri sawit Indonesia akan memasuki fase baru: rantai pasok serba tertelusur, audit keberlanjutan ke hulu, dan kontrol legalitas yang lebih ketat. Di tengah semua itu, STDB bisa menjadi jembatan atau justru jurang. Jika negara memilih membereskan masalah dari hulunya, petani akan melangkah bersama dalam ekosistem yang lebih adil. Namun jika negara membiarkan aturan berjalan tanpa penyelesaian agraria, sawit rakyat akan menjadi korban pertama dari regulasi yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin masa depan industri.

Keberlanjutan, pada akhirnya, bukan hanya soal memenuhi permintaan pasar. Ia tentang memastikan bahwa mereka yang selama ini bekerja di kebun—bersimbah keringat di bawah matahari, menggantungkan hidup pada hasil panen setiap dua minggu—tidak ditinggalkan dalam perjalanan menuju standar global yang semakin tinggi. Dan itu hanya bisa dicapai jika negara berani memastikan satu hal mendasar: keadilan bagi petani, sebelum meminta mereka mematuhi dokumen apa pun.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini