Strategi Indonesia Kurangi Ketergantungan Impor Gula

0
Direktur Hubungan Kelembagaan dan Manajemen Risiko PT Sinergi Gula Nusantara, Aris Toharisman pada Temu Bisnis VIII "Membangun Ekosistem Ekonomi Digital untuk Produk Lokal" yang digelar di ICE BSD, Tangerang, Rabu (17/9).

Berbeda dengan sawit yang bisa dikatakan sudah mandiri dan bahkan diekspor ke luar negeri, gula masih menjadi persoalan tersendiri. Ketergantungan Indonesia pada impor gula masih cukup besar.

Direktur Hubungan Kelembagaan dan Manajemen Risiko PT Sinergi Gula Nusantara, Aris Toharisman, mencatat bahwa dari kebutuhan gula tahunan sekitar 6,5 juta ton, produksi dalam negeri baru mencapai sekitar 2,3 juta ton.

“Ketergantungan kita pada impor (gula) itu masih cukup besar, lebih dari 65 persen,” kata Aris pada Temu Bisnis VIII “Membangun Ekosistem Ekonomi Digital untuk Produk Lokal” yang digelar di ICE BSD, Tangerang, Rabu (17/9).

Aris menjelaskan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023, yang mengatur tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel).

“Pada intinya adalah ingin mengembalikan atau mencapai swasembada gula nasional, khususnya swasembada gula konsumsi di tahun 2028 dan swasembada gula total di tahun 2030,” jelas Aris.

Dari kebijakan ini, diuraikan langkah-langkah untuk mencapai target tersebut. Pertama, ekstensifikasi lahan dengan memanfaatkan potensi perluasan tebu di Merauke seluas sekitar 1 juta hektare.

“Rencananya memang untuk perluasan itu, bahwa ada potensi di Merauke seluas sekitar 1 juta hektare. Jadi, tadi 1 juta hektare kalau kita lihat di paparan untuk padi, 1 juta hektare lagi untuk tebu,” ujar Aris.

Aris mengatakan bahwa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Group telah menginisiasi upaya tersebut melalui uji coba penggunaan varietas-varietas unggul tebu yang sesuai dengan kondisi Merauke.

“Alhamdulillah, dari 10 varitas yang kita uji itu hampir semuanya bisa tumbuh dengan baik dan juga tahan terhadap sama penyakit lokal,” ujar matan Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia ini.

Kemudian yang kedua, perlu adanya intensifikasi. Jika menoleh, pada tahun 1930-an, ketika Indonesia menjadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba, luas area tebu hanya 192 ribu hektare, tetapi produksi mencapai lebih dari 3 juta ton.

“Artinya, setiap hektare kebun itu bisa menghasilkan gula hampir 15 ton per hektare. Artinya, untuk bisa mengembalikan kejayaan itu, artinya melalui intensifikasi, kita dorong terus peningkatan produktivitas gula tersebut,” ungkap dia.

Aris menambahkan, pemerintah juga akan menyediakan tambahan area 700 ribu hektare tebu, sehingga total dengan yang sekarang 500 ribu menjadi 1,2 juta hektare di tahun 2030.

“Itu pada saat itu dengan asumsi produktivitas gulanya itu lebih dari 8 ton, kita bisa mencapai swasembada, khususnya gula konsumsi,” kata pria kelahiran Kuningan, 19 Januari 1966 ini.

Adapun yang ketiga, lanjut Aris, memanfaatkan hasil samping seperti tetes tebu atau molase yang dihasilkan sekitar 4,5 persen dari tebu untuk dikonversi menjadi bioetanol dan mendukung penggunaan energi terbarukan di Indonesia.

Aris menyebutkan bahwa saat ini PTPN Group memiliki dua pabrik etanol, yaitu satu PT Energi Agro Nusatara (Enero) di Mojokerto dan satu lagi di Jatiroto.

“Etanol dalam bentuk bioetanol yang fuel grid, itu bisa dipakai untuk bahan bakar yang ramah lingkungan karena dia akan mengurasngi emisi karbon, dan juga tentu ini sifatnya yang renewable,” jelas dia.

Dia menambahkan, pihaknya juga akan  membangun pabrik bioetanol bekerja sama dengan Pertamina di Banyuwangi, tepatnya di Glenmore, dengan kapasitas 100 kiloliter per hari atau 300 ribu kiloliter dalam setahun.

“Ini sebenarnya sesuai dengan tujuan dari pemerintah, di mana kita akan terus mendorong penggunaan energi terbarukan untuk mencapai 23 persen di tahun 2025, yang sekarang baru sekitar 13-14 persen, salah satunya adalah menggunakan bioetanol,” kata dia.

Menurut dia, ini adalah salah satu hasil samping yang sangat ramah lingkungan karena produk-produk yang ada dalam tebu direcycle untuk dimanfaatkan kembali. Selain itu, pendekatan ini juga memberikan manfaat yang baik bagi lingkungan.

“Jadi, bioetanol yang dari tebu itu memang komponen terbesarnya atau 80 persen komponen produksi bioetanol ada di feedstock-nya atau di bahan bakunya adalah molases,” kata dia.

Di samping itu, bioetanol tentu akan memberikan nilai tambah bagi pihaknya, serta bagi para pemasok tebu, termasuk petani tebu.

Dari sisi proses produksinya, sebenarnya tidak terlalu rumit. Teknologinya juga sudah mapan, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan relatif normal dan wajar. Selain itu, produk ini memiliki pasar yang cukup menjanjikan, bukan hanya untuk bahan bakar, tetapi juga untuk kebutuhan industri.

“Jadi, di kami ini, kalau etanol itu sekarang tidak terserap sebagai fuel grid atau bahan bakar,  kita switching ke industrial grid untuk keperluan-keperluan industri,” ungkap Aris.

Kemudian, sama seperti di sawit, di industri tebu juga ada proses-proses yang bersertifikasi dalam hal produksinya, dalam konteks keterkaitan dengan masalah lingkungan.

Bahkan, sambung dia, limbah dari etanolnya sendiri kita konversi menjadi biogas, gas metan, dan dipakai kembali sebagai energi untuk membangkitkan listrik di pabrik etanol,  dan juga ada limbah lain yang kita konversi menjadi pupuk kayati,

“Jadi, secara siklus keseluruhan ini adalah suatu proses-proses yang relatif ramah lingkungan dan tentu mensupportlah sumber daya atau SDM yang ada di lingkungan tersebut,” pungkas Aris.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini