
Rupanya minyak bukanlah hasil terbesar dari sawit. Menurut Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, potensi ekonomi sawit justru paling besar berasal dari biomassa.
Demikian disampaikan Tungkot dalam seminar Visi Ekonomi Hijau pada rangkaian The 2nd Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) 2025 di Jakarta, Kamis (2/10).
“Yang menarik di sini adalah sawit yang kita kenal sampai saat ini itu bukan hanya menghasilkan minyak, bahkan perkebunan sawit itu yang terbesar itu bukan minyaknya,” kata Tungkot.
Menurutnya, produktivitas minyak sawit rata-rata hanya sekitar 4 ton per hektare per tahun. Sementara itu, biomassa sawit bisa mencapai 16 ton bahan kering per hektare per tahun, atau empat kali lebih besar dibanding minyaknya.
“Kita baru memanfaatkan minyak sawit saja sudah juara dunia. Apalagi biomassnya nanti yang empat kali lipat dari itu. Jadi, kita baru 30 persen memanfaatkan ekonomi daripada sawit,” ujarnya.
Pemanfaatan biomassa sawit inilah, katanya, yang harus dikejar agar potensi ekonominya dapat dimaksimalkan. Tungkot menyebut, penelitian dan pemanfaatan biomassa sudah banyak dilakukan.
“Penelitian-penelitian mengenai biomassa dan pemanfaatannya sudah mulai banyak dilakukan, terutama sejak hadirnya BPDPKS yang memberikan dana pembiayaan untuk penelitian untuk itu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tungkot menekankan bahwa perkebunan sawit secara konsep dan habitat sudah selaras dengan arah pembangunan berkelanjutan.
Ia merujuk pada konsep multifunctionality yang diperkenalkan oleh FAO dan WCED pada 1980-an, bahwa pertanian dan perkebunan tidak hanya memiliki fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi sosial dan lingkungan.
“Jadi, perkebunan sawit itu tidak hanya sebagai kita lihat sebagai fungsi ekonomi, tapi di dalamnya sudah ada fungsi sosial, fungsi lingkungan, baik itu yang untuk konservasi maupun untuk konservasi tanah dan air dan juga untuk biodiversity,” ujarnya.
Tungkot juga menyampaikan,Undang-Undang Perkebunan pertama yang diterbitkan pada tahun 2004, yang kini telah direvisi, sudah mengadopsi konsep multifunctionality dalam perkebunan sawit.
“Jadi, konsep visi hijau yang kita jalankan ke depan sudah selaras dengan sawit. Tugas kita ke depan adalah memperbesar dan memperbaiki kualitas green economy sawit,” jelasnya.
Tungkot menambahkan, tantangan pertama adalah meningkatkan kualitas ekonomi hijau sawit, sedangkan tantangan kedua adalah memperluas dampaknya ke sektor-sektor lain.