
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr. Gulat ME Manurung, mengapresiasi peluncuran program Biodiesel 50 Persen (B50) yang baru-baru ini diresmikan di Pabrik Biodiesel PT Jhonlin Agro Raya, Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (18/8).
Gulat menyatakan, sebagai petani sawit, dia merasa sangat bangga dengan adanya program B50, B60, hingga B100. Menurutnya, langkah ini sangat membanggakan karena memanfaatkan bahan baku dari Tandan Buah Segar (TBS).
“Ya, yang pertama tentu sebagai petani sawit bangga dengan program tersebut B50, B60 sampai B100 itu bangga. Ya pasti dong, karena dia memakai bahan baku dari TBS, iya kan?,” kata Gulat kepada Majalah Hortus, Jakarta, Selasa (20/8).
Ketika disingggung mengenai apakah launching B50 ini program pemerintah dalam hal ini Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Gulat melihat ini adalah inisiatif dari PT Jhonlin Agro Raya.
“Gak mungkin Program BPDPKS, kan harus ada rapat lintas kementerian dan lembaga terkait energi, harus ada rapat Komrah BPDPKS dan hatus diterbitkan Kepres nya. Pun demikian perlu juga ditanyakan langsung ke BPDPKS, kan Pak Dirut hadir pada acara tersebut” kata Gulat.
Gulat menegaskan bahwa tidak mempermasalahkan siapa yang menginisiasi program tersebut, selama program itu memberikan manfaat bagi petani sawit dan negara. Selama ini, yang menjadi perdebatan adalah bagaimana sektor hulu dapat secara optimal mendukung sektor hilir.
“Saya tidak melihat itu program siapanya, sepanjang bermanfaat ke petani sawit dan negara ini, tentu kami petani sawit sangat berterimakasih. Yang menjadi perdebatan kita selama ini adalah bagaimana sektor hulu bisa optimum mendukung sektor hilir,” kata dia.
Diketahui banyak sekali permasalahan di sektor hulu, seperti produktivitas yang semakin menurun, klaim-klaim kawasan hutan, ancaman Pasal 110B yang tidak membolehkan replanting (hanya 1 daur).
Gulat menyatakan kesepakatannya dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman perihal ‘dedicated area’, yaitu memanfaatkan lahan terdegradasi untuk pengembangan perkebunan sawit untuk mendukung program B50 ini.
“Saya sangat sepakat apa yang dikatakan Pak Mentan, Amran, perihal ‘dedicated area’ yaitu memanfaatkan lahan terdegredasi untuk dimanfaatkan menjadi perkebunan sawit yang hijau, untuk mendukung program biodiesel ini, sehingga tidak terjadi tarik menarik kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan,” kata dia.
Menurut Gulat, kehadiran Hanif Faisol Nurofiq menjadi Direktur Jenderal Planologi Kehutanan sebenarnya sudah memberikan signal untuk dukungan penuh kemandirian energi ini.
“Kehadiran Pak Dirjend Planologi, Hanif Faisol, sebenarnya sudah memberikan signal untuk dukungan penuh kemandirian energi ini, apalagi salah satu program unggulan Presiden terpilih, Prabowo, adalah kemandirian energi,” ujar Gulat.
Secara khsusus, Gulat meminta Kementan untuk fokus percepatan capaian Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), melalui memandatorikan PSR. Hal ini terutama mengingat capaian target PSR yang masih jauh dari harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Hulurisasi itu sebenarnya cenderung daripada fungsi daripada Kementan, terkhusus hulurisasi di sektor perkebunan sawit rakyat, yang pada saat ini capaian target PSR-nya masih jauh dari yang diharapkan Presiden Jokowi,” ungkap Gulat.
Gulat menjelaskan, mandatori PSR berarti mempermudah segala regulasi terkait PSR, tidak seperti saat ini, petani sawit sekan ‘mengemis’ supaya bisa ikut PSR. “Mau saja petani ikut PSR, itu sudah disyukurin, karena selama proses PSR akan terjadi kevakuman pemasukan ekonomi rumah tangga petani dari kebun yang di PSR kan” tegas Gulat.
Dia juga mempertanyakan mengapa biodiesel (sektor hilir) dimandatorikan, sementara sektor hulu tidak mendapat mandat serupa. Menurutnya, tanpa mandatori untuk sektor hulu, akan terjadi ketidakseimbangan dalam ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan untuk sektor hilir.
“Jomplang ketersediaan bahan baku untuk hilir tadi sesungguhnya menjadi acaman jika capaian PSR tetap stagnan ditahun berikutnya,” kata Gulat. “Jadi kalau udah kata wajib, ya syaratnya pun nggak ada yang mengada-ada, ya kan? Nah, jadi hilir itu tidak bekerja kalau hulu itu seperti saat sekarang ini terseok-seok.”
Menurut Gulat, hilirisasi sawit Indonesia saat ini sangat maju, bahkan negara lain tidak bisa menandinginya. Sementara negara-negara lain masih membahas biodiesel B5, Indonesia sudah berada pada tahap B35.
“Hilir itu larinya udah kenceng banget nih. Teknologi hilirisasi sawit Indonesia tidak ada yang mengimbangi lagi negara lain di muka bumi ini. Orang masih bicara B5, kita udah B35, bahkan PT Jhonlin Agro Raya telah meluncurkan B50,” kata dia.
“Orang lain masih bicara avtur, kita sudah Bioavtur 5 persen, iya kan, kan? Tapi kita lupa hulunya,” sambung Gulat.
Gulat mengingatkan, 195 negara sangat bergantung pada produktivitas sawit Indonesia, yang menyuplai 58 persen kebutuhan minyak nabati sawit dunia. Ketergantungan ini menjelaskan mengapa negara-negara Uni Eropa sering menentang program biodiesel Indonesia.
Kementan sebagai kementerian teknis, harus merelaksasi aturan-aturan yang menghambat penerapan mandatori PSR. “Jadi kata kuncinya tetap di Kementan. Dengan memandatorikan itu sudah memperingan pekerjaan semua pihak, termasuk Kementan,” pungkas dia.