
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menjajal mobil berbahan bakar B100 saat berkunjung ke Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Industri dan Penyegar (BRMP-TRI) di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (9/5).
Balai tersebut berada di bawah naungan Pusat Perakitan dan Modernisasi Pertanian Perkebunan, Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan).
Selain fokus pada perekayasaan dan pengujian tanaman industri seperti kopi, kakao, teh, dan karet, BRMP-TRI juga melakukan pengujian terhadap bahan bakar nabati, termasuk biodiesel.
“Di sini juga dilakukan uji dari B35. Sekarang kita sudah ada uji coba untuk B40, B50 sampai dengan B100 dan B100 tadi udah kita coba,” kata Wamentan Sudaryono.
Mas Dar, sapaan Wamentan Sudaryono, menambahkan, hasil konversi minyak sawit menjadi biodiesel menunjukkan performa yang baik saat diterapkan langsung pada kendaraan.
“Hasil dari minyak sawit kita kita convert menjadi biodiesel 100 persen kemudian dimasukkan ke dalam mobil ternyata hasilnya mobilnya jalan dan baik sehingga dari sisi riset dan aplikasi terhadap riset untuk diujicobakan ke dalam mobil ternyata hasilnya baik,” ujar Mas Dar.
Kendati demikian, Mas Dar juga memaparkan tantangan dalam pengembangan biodiesel B100, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pangan.
“Sawit awalnya digunakan untuk pangan—minyak goreng, margarin, sabun. Jadi tantangannya adalah bagaimana konversi ke bahan bakar tidak mengurangi ketersediaan untuk konsumsi,” jelasnya.
Untuk itu, peningkatan produktivitas kebun sawit menjadi kunci. Salah satu upayanya adalah melalui penggunaan bibit unggul yang terbukti secara genetik.
“Kami punya balai semacam balai uji DNA untuk memastikan bibit sawit yang akan ditanam adalah bibit unggul. Kalau bibitnya salah, hasilnya juga akan salah semua,” tegas Mas Dar.
Selain itu, lanjut Mas Dar, Kementan juga sedang menjalankan program peremajaan tanaman perkebunan seperti sawit, kopi, dan kakao yang sudah tidak produktif.
“Nah itu semua butuh kebijakan (policy), semua butuh keputusan politik, semua butuh anggaran dan ini yang mau kita kerjakan peremajaan tanaman perkebunan yang selama ini kan banyak milik rakyat,” imbuh dia.
Sementara itu, Kepala Balai BRMP-TIP, Evi Savitri Iriani, menjelaskan bahwa performa B100 sangat menjanjikan meski memiliki tantangan teknis kecil.
“Kendaraan itu dibeli sejak 2018 dan tidak pernah diisi solar. So far, tidak ada masalah. Hanya saja, filternya harus lebih sering diganti, mungkin tiga bulan sekali dibanding enam bulan untuk solar biasa,” jelas Evi.
Evi juga menyoroti keunggulan tenaga B100 yang lebih baik dari solar karena nilai cetanenya (seta number) lebih tinggi. Selain itu, B100 juga menghasilkan emisi yang lebih ramah lingkungan. “Asapnya tidak bau seperti solar karena ini bahan nabati,” tambah dia.
Menariknya, biodiesel B100 juga bisa dibuat dari minyak jelantah, yang menunjukkan potensi diversifikasi bahan baku. Namun, tantangan utama tetap pada ketersediaan pasokan bahan baku sawit.
“Kalau semuanya pakai B100, bahan bakunya belum cukup. Makanya sekarang masih dicampur solar. Pelan-pelan kita naik, dari B5, B20, sekarang B40. Target ke depan B50,” ujar Evi.
Saat ini, B100 masih dalam tahap uji coba untuk kendaraan umum, namun sudah digunakan lebih luas di alat dan mesin pertanian (Alsintan). “Kalau di kendaraan bergerak saja bisa, apalagi di kendaraan yang statis,” tutup dia.