Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) mengusulkan makna baru Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) menjadi Tata Ruang Kesepakatan. Diharapkan akan terbangun kepastian hukum dan kepastian usaha bagi seluruh stakeholders yang memanfaatkannya.
Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara RJR dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tentang “Permasalahan Tata Ruang dan Tumpang Tindih Pemanfaatan Kawasan Hutan”, Selasa, 29 Juni 2021.
Ketua Umum RJR Ir. Suhariyanto, ASEAN. Eng mengatakan, dengan Tata Ruang Kesepakatan diharapkan akan terbangun kepastian hukum dan kepastian usaha dan juga mengakomodasi program Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria (TORA), penyelesaian kebun-kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan.serta meningkatkan kepercayaan dunia internasional.
“Tata Ruang di Indonesia belum memberi ruang secara memadai bagi tercapainya kesepakatan yang luas antar berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga RJR memandang perlunya diperkuat kolaborasi dan kegotong-royongan antar stakeholders,” kata Suhariyanto.
Suhariyanto menjelaskan, serangkaian kegiatan telah dilakukan oleh RJR dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah menyampaikan masukan, gagasan, dan pemikiran kepada Presiden RI Joko Widodo tentang “Tata Ruang Kesepakatan Provinsi Kalteng” beberapa waktu yang lalu, RJR telah berhasil pula menyelenggarakan webinar nasional bertema “Tata Ruang Kesepakatan Provinsi Kalimantan Tengah untuk Kepentingan Bersama” pada April 2021.
“Diantara misi yang diperjuangkan RJR adalah mewujudkan mantra “voicing the voiceless” (menyuarakan mereka yang tak mampu bersuara) maupun melakukan kajian tata kelola yang baik (good governance) di bidang kehutanan, lingkungan hidup, dan sosial-kemasyarakatan pada umumnya. RJR sebagai wadah rimbawan profesional secara sukarela membantu memberikan solusi secara mandiri, terbuka, berkeadilan, inovatif, serta memberikan motivasi untuk maju bersama,” jelas Suhariyanto.
Melalui RDP dengan DPD RI, lanjut Suhariyanto , diharapkan terbangun solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tata ruang yang bersifat generik (hampir terjadi di semua propinsi), dengan mengusulkan untuk memberi makna baru Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Propinsi menjadi Tata Ruang Kesepakatan.
“Kesepakatan tata ruang yang disusun di tiap provinsi diharapkan bersifat komprehensif dengan memperhatikan seluruh aspek penting yang ada (antara-lain memperhatikan dimensi humaniora, dimensi iptek, dimensi pemanfaatan/utilitarian, dimensi keanekaragaman-hayati/biodiversity maupun bio-region), sekaligus menciptakan model/yurisprudency dalam menyelesaikan masalah keagrariaan/tenurial, kepastian hak/property-right, investasi, perizinan berusaha, serta penciptaan lapangan kerja yang luas,” jelasnya.
Disamping itu, lanjutnya, diharapkan pula kesepakatan tata-ruang tersebut harus bisa terealisasi sampai di tingkat tapak dengan melibatkan sebanyak-mungkin stakeholders guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 semangatnya memungkinkan adanya kesepakatan, kolaborasi, dan sinergi antar sektor,” tegasnya.
DPD RI pun menyambut sangat baik inisiatif rencana kolaborasi DPD RI dengan RJR untuk menciptakan kesepakatan tata ruang yang baru sebagai bagian dari upaya memperkuat pembangunan daerah berkelanjutan berbasis pelestarian hutan.
Anggota DPD RI Agustin Teras Narang menilai persoalan tata ruang dan pertanahan yang masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia, harus segera diselesaikan agar kepentingan pelestarian hutan dan pemanfaatan ekonomi berjalan secara selaras.
“Penyelesaian persoalan itu bisa dengan terlebih dahulu melakukan advokasi secara terstruktur dan sistematis serta masif. Komite 1 DPD RI bisa berkolaborasi dengan Relawan Jaringan Rimbawan dalam melakukan advokasi secara TSM itu,” , kata Teras.
Menurut Senator asal Kalimantan Tengah itu, advokasi sangat penting dilakukan sebagai upaya memastikan masyarakat tidak diabaikan, dan negara dapat berjalan secara baik dalam mengelola tata ruang yang ada.
“Setiap kita mesti berkolaborasi. Tidak berjuang sendiri-sendiri. Harus berjuang dengan spirit bersama. Jadi, ada langkah lebih baik dalam upaya penuntasan berbagai persoalan tata ruang,” kata Teras.
Menurut dia, situasi paling rumit adalah saat terjadi penyusutan luasan Area Penggunaan Lain (APL) dari 37% berdasarkan Perda No 8 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng menjadi sekitar 18% sebagai konsekuensi lahirnya SK 529/Menhut II/2012.
“Sejak saat itu, problem tata ruang di Kalteng menjadi lebih rumit,” katanya
Di lapangan ada sekitar 785 desa dan kelurahan masuk dalam kawasan hutan. Masuk juga infrastruktur jalan nasional sepanjang 858 kilometer dan jalan provinsi sepanjang 432 kilometer. Ada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) seluas 204.575,17 hektare dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) seluas 1.376.873,80 hektare.
Teras pun mendorong agar kesepakatan semua pihak segera dibangun untuk penyesuaian terhadap kondisi terkini di Kalteng. Hal ini untuk kepentingan tata ruang yang lebih berkeadilan dan memberi manfaat bagi semua pihak.
Ketua Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi RJR, Dr. Petrus Gunarso mengatakan saat ini masih terjadi tumpang tindih penggunaan lahan hutan oleh kehutanan, pertambangan, perkebunan (sawit) dan penggunaan lainnya. Bahkan, khusus sawit, primadona yang menjanjikan tetapi masih tersandera. Status lahannya sebagian dianggap Illegal.
“Kondisi ini jelas menyulitkan posisi sawit di pasar globar, padahal sawit adalah primadona ekspor Indonesia saat ini,” jelasnya.
Petrus menjelaskan, kasus yang menimpa sawit hampir mirip dengan komoditas kayu primadona ekspor masa lalu yang hancur karena kita mengelolanya kurang bijaksana.
“Hutan dan kayu pernah jaya dan sekarang mulai impor. Kita berharap ini tidak menimpa sawit sebagai andalan negara dalam mendapatkan devisa. Faktanya, Sawit tidak diterima sebagai tanaman Kehutanandan Sawit juga didiskriminasi di luar negeri.,” katanya.
Menurut Petrus, dalam hal menyelesaikan permasalahan ini, sebenarnya pernah ada kesepakatan antara pusat dan daerah. Pada tahun 1982 dibuat Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10 November 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah-wilayah Propinsi.
“TGHK merupakan kesepakatan bersama para pemangku kepentingan di tingkat Provinsi untuk menentukan alokasi ruang kawasan hutan berikut fungsinya yang diwujudkan dengan membubuhkan tandatangan di atas peta,” jelasnya.
Kenapa kesepakatan waktu itu bisa berhasil, lanjut Petrus, karena APBN masih bertumpu pada sektor migas dan non migas terutama dari hutan dan kayu. Situasi sosial politik Orde Baru yang sangat kuat, termasuk kroni-kroni yang yang berkuasa sebagai “raja hutan” pada waktu itu cukup berperan penting.
Sehingga dari periode ke periode, luas kawasan hutan secara proporsional menurun. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) terjadi penurunan yang cukup besar, walaupun pada akhirnya penurunannya berkurang. Pada kawasan hutan produksi tetap (HP dan HPT) luas kawasan hutan menurun, sedangkan untuk kawasan hutan lindung (HL) luas kawasan hutannya relatif tetap.
TGHK dimulai pada tahun 1982 dengan luasan 147,02 juta Ha. Kemudian dengan terbitnya UUNo. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dilakukan pemaduserasian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
“Melalui verifikasi RTRWP akhirnya menghasilkan kawasan hutan seluas 125,9 juta Ha atau seluas 63,7% dari luas daratan Indonesia,” kata Petrus.
Namun dalam perjalanannya, RTRWP ternyata bermasalah, contohnya, di Propinsi Riau diduga sebagian lahan sawit illegal baik yang di dalam dan di luar Kawasan hutan. Kemudian, Propinsi Sumatera Utara, penunjukan ulang Kawasan hutan menimbulkan masalah.
Propinsi Aceh Darussalam ada tumpang tindih ecosystem Leuser dan sawit. Sementara di Kalimantan Tengah, penunjukan kawasan hutan yang sangat tidak proporsional terhadap kebutuhan pembangunan berbagai sektor. Kalimantan Timur, luas perijinan yang melebihi luas.
“Di Papua Barat, adanya perluasan Kelapa Sawit di era moratorium dan Papua, perijinan dan perluasan kelapa sawit di masuk ke kawasan HCS,” kata Petrus.
Menurut Petrus, kompleksnya persoalan RTRWP sejatinya bisa diselesaikan dengan kata ‘kesepakatan’. Adalah sepakatnya seluruh stakeholders terkait wilayah yang ada, terutama ‘peruntukannya’.
Meski demikian, menurut Petrus, dasar pertimbangannya harus jelas dan memenuhi 4 kriteria utama.
“Pertama ekologis/lingkungan(Aman), Teknis (Bisa dikerjakan), Ekonomis (Menguntungkan terutama masyarakat banyak dan Sosial/Politik (Diterimaterutamaoleh rakyat,” jelasnya.
Kalau kesepakatan itu bisa terjadi maka modelnya dapat diterapkan di seluruh provinsi sesuai karakteristik masing-masing.
Petrus menambahkan, sebenarnya sudah ada tawaran atau solusi dari pemerintah di Kementerian LHK melalu program Perhutanan Sosial. Dimana ada 12,7 juta hektar yang disiapkan untuk mendukung program tersebut. Sementara di Kementerian ATR-BPN ada 4 juta hektar melalui Performa Agraria.
Program tersebut bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai ‘keterlanjuran’ untuk menata hutan.
“Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) seharusnya ditetapkan dengan memasukkan keberadaan sawit rakyat dan tumpang tindih lahan sebagai prioritas untuk menyelesaikan masalah tenurial hutan. Dan bukan malah mendiskreditkan sawit,” tegas Petrus.
Petrus menilai, penyelesaian yang diambil oleh pemerintah kurang memanfaatkan semangat dasar Omnibus Law, Penyederhanaan yang terjadi justru mengedepankan prosedural bukan fungsional.
“Pengenaan sangsi dan denda terhadap keterlanjuran ditengarai bakal gagal di tengah jalan. Karena selain absurd juga tidak peka dengan keadaan perekonomian saat ini (adanya Pandemi Covid-19),” tegasnya.
Untuk itu, RJR mengusulkan, perlu segera dilakukan Tata Ruang Kesepakatan, menuju ke kearah kepastian hak kepemilikan (property rights). Kemudian, melakukan inventarisasi menyeluruh kondisi tutupan hutan Kalteng dan Riau untuk memastikan terjadi alih kelola yang menyejahterakan.
“Penunjukan Ulang Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan existing tutupan hutan; hindari klaim sepihak diawal kesepakatan. Sebab, adanya UU Cipta Kerja untuk mengatasi keterlanjuran. Maka saatnya diselesaikan keterlanjuran tersebut dengan kesepakatan, dan bukan mengedepankan penegakan hukum,” pungkas Petrus .