United States Department of Agriculture (USDA) atau Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) memprediksi pada tahun 2050 dunia akan membutuhkan 670 juta ton. Dari jumlah itu, 55,9 % kebutuhan minyak nabati dunia akan dipenuhi oleh sawit. Sementara sisanya berasal dari tanaman minyak nabati lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, rape seed dan yang lainnya.
Tingginya peran sawit untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia dapat di mengerti, sebab rata-rata produktivitasnya sangat tinggi 4 ton per hektare per tahun, unggul jauh dibandingkan produktivitas kedelai 0,5 ton per hektar atau rape seed yang 0,9 ton per hektar per tahun.
Dengan produktivitasnya yang tinggi, sawit mampu menekan deforestasi di dunia.
Dengan produktifitas yang tinggi, USDA bahkan memprediksi sawit akan mampu memenuhi 55,9% kebutuhan minyak nabati dunia. Tentu ini peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan sawit.
Menurut Wakil Ketua Komisi Tetap Perkebunan Kamar Dagang Dan Industri (Kadin), Teguh Patriawan, peluang ini harus dimanfaatkan dengan meningkatkan produksi dan produktivitas sawit melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
“Peluang ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia, sebab sawit merupakan komoditas yang berkelanjutan, berbeda dengan hasil tambang dan kayu yang akan habis pada masanya,” kata Teguh di Jakarta, baru-baru ini.
Apalagi, negara-negara konsumen minyak sawit terbesar seperti India, China, Pakistan, juga Uni Eropa, jelas tidak mungkin bisa menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya. “Maka dari itu dunia tidak mungkin hidup tanpa minyak sawit,” tegasnya.
Ditambahkan, Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit memiliki peluang yang lebih baik untuk mengambil porsi terbesar sebagai pemasok kebutuhan minyak nabati dunia ke depan.
“Produktivitas dan efisiensi, ciri khas utama sawit, menjadi syarat utama dalam rangka memperbesar kontribusi Indonesia di pasar sawit global,” ujarnya.
Namun, untuk merealisasikan sebagai pemasok utama sawit ke pasar dunia maka Indonesia perlu memperbaiki daya saing ekspor minyak sawit di pasar dunia. Daya saing sangatlah penting dalam rangka berkompetisi dengan negara produsen CPO lainnya. Di Indonesia, persoalan daya saing sangat dipengaruhi biaya logistik, infrastruktur, dan social security cost.
Apalagi, lanjut Teguh, belakangan ini sering terjadi tren penurunan daya saing industri sawit akibat naiknya biaya logistik, tenaga kerja, serta biaya sosial serta keamanan. Belum lagi, dengan ketidakpastian regulasi dari tingkat daerah sampai pusat yang kerapkali berubah. Kondisi ini mengakibatkan pengusaha bukannya memikirkan cara peningkatan produktivitas melainkan khawatir persoalan regulasi.
Jika hambatan daya saing tidak segera dipecahkan maka bisa mengancam keberlanjutan industri sawit di masa depan.
Teguh menjelaskan, Indonesia telah kehilangan sejumlah komoditas unggulan di masa lalu. “Jangan sampai sawit yang menjadi komoditas andalan yang akan hilang ditelan zaman, yang diakibatkan karena ketidak pedulian kita semua,” jelasnya.
Apalagi, saat ini perolehan devisa Indonesia mengandalkan sawit untuk menjaga surplus neraca perdagangan. Jangan sampai neraca perdagangan menjadi minus sehingga berakibat kepada tekanan berat untuk rupiah dan posisi Indonesia di pasar global.
Presiden Jokowi selalu menekankan pentingnya pemangkasan aturan (deregulasi) dalam rangka peningkatan investasi dan inovasi. Tetapi arahan ini belum berjalan baik di level teknis kementerian dan pemerintahan daerah.
“Keinginan Presiden Jokowi belum dilaksanakan sebagain atau sepenuhnya di dalam konteks deregulasi,” ungkapnya.
Industri sawit belum merasakan dampak deregulasi bahkan yang terjadi regulasi terus bertambah. Deregulasi belum menyentuh aspek ketidakpastian hukum atau kepastian investasi sebagai contoh masalah tata ruang (RTRW) yang selalu berubah. Bahkan seringkali membuat cemas pengusaha yaitu, setelah puluhan tahun menjadi pemegang HGU pada kenyataannya kebun tumpang tindih dengan kawasan hutan atau tidak bisa direplanting bahkan tidak dapat diperpanjang karena masuk fungsi lindung.
“Industri sawit belum memperoleh dampak signifikan program deregulasi pemerintah,” tukasnya.
Menurut Teguh, kampanye deforestasi seringkali dijadikan senjata untuk memojokkan industri berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit. Padahal kenyataannya, studi Climate Focus yang berbasiskan data Europe Commision menunjukkan bahwa deforestasi dipicu kegiatan peternakan sapi dalam skala besar. Kemudian disusul tanaman kedelai dan gandum yang aktif membuka hutan untuk lahan pertanian.
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO, perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit dapat dikatagorikan sebagai hutan yang berfungsi ekologis hutan, meskipun secara adminitratif tidak berada dalam kawasan hutan.
Hal ini karena; perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi menurut konsep land cover change), memiliki canopy cover hampir/mendekati 100 persen pada umur dewasa (syarat FAO, lebih besar 10 persen), dan memiliki ketinggian pohon setelah dewasa lebih dari 5 meter dan luas hamparan diatas 0,5 hektar (FAO mensyaratkan tinggi pohon 5 meter dan hamparan 0,5 hektar). Dengan demikian memiliki kriteria minimal (threshold) bahkan di atas definisi FAO.
Berikutnya, perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop yang baru di-replanting setelah 25 tahun (timber plantation yang oleh FAO dikategorikan hutan, dipanen 7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih lama dari pada timber plantation.
Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga memiliki perakaran yang massif/padat, berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (pelapah daun, batang) yang berfungsi sebagai bagian dari konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air permukaan (water run-off) sebagaimana salah satu fungsi hutan.
Selanjutnya, perkebunan sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis seperti pelestarian daur CO2 daur O2 dan daur air (H2O) melalui mekanisme fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit. Fungsi ini juga merupakan bagian hutan secara ekologis. ***SH