Opini
Undang-Undang Bea Meterai resmi disahkan pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September 2020 lalu.
Undang-Undang Bea Meterai ini akan menggantikan Undang-Undang Bea Meterai nomor 13 Tahun 1985 yang telah berlaku selama 35 tahun dan belum pernah mengalami perubahan. Regulasi terbaru ini melakukan penyesuaian tarif menjadi satu lapis tetap, yaitu sepuluh ribu rupiah. Tarif ini akan mulai berlaku efektif per 1 Januari 2021 nanti.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan tujuan diberlakukan nya undang-undang ini merupakan salah satu bentuk keberpihakan pemerintah kepada masyarakat luas dan pelaku UMKM. Selain karena memberikan kesetaraan fungsi (level playing field) antara dokumen kertas dan elektronik, peraturan bea meterai terbaru ini juga mengenakan tarif yang relatif rendah dan terjangkau. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diketahui dari undang-undang ini.
Pertama, mengenai objek Bea Meterai itu sendiri. Secara garis besar, dalam pasal 3 ayat 1, terdapat dua jenis dokumen yang dikenakan bea meterai: (a) Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan (b) Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Untuk poin b mungkin tidak terlalu membingungkan. Namun, bagaimana untuk poin a? Undang-Undang ini memperdalam jenis-jenis dokumen yang termasuk di poin a dalam pasal 3 ayat 2. Di dalam nya terdapat enam jenis dokumen yang meliputi: surat perjanjian, akta notaris, akte PPAT, dokumen transaksi surat berharga, serta dokumen lelang.
Sebelum membahas lebih jauh, pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Bea Meterai ini menekankan suatu hal yang sangat fundamental. Dalam pasal tersebut, dokumen diartikan sebagai sesuatu yang ditulis atau tulisan, baik dalam bentuk tulis tangan ataupun elektronik yang dipakai sebagai alat bukti atau keterangan. Unik nya, kata “elektronik” tidak ada pada undang-undang sebelumnya (UU no.13 Tahun 1985). Penambahan kata tersebut mungkin saja disebabkan Kemenkeu melihat sebuah peluang (opportunity) dari trend meningkatnya transaksi yang bersifat digital.
Poin berikutnya, terkait dengan batas nominal dikenakannya bea meterai. Dalam pasal 3 ayat 2 huruf g, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari lima juta rupiah merupakan objek bea meterai. Ketentuan baru ini juga menggantikan ketentuan sebelumnya yaitu sebesar 250 ribu rupiah. Menurut Menkeu Sri Mulyani, hal ini merefleksikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat, khususnya sektor UMKM. Pada regulasi baru ini pula, pemerintah memberikan fasilitas pembebasan pengenaan bea meterai yang juga tertuang di pasal 3.
Hal ketiga, dalam rangka menegakan hukum, Undang-Undang Bea Meterai terbaru ini juga telah menerapkan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi yang bersifat pidana. Tujuan nya hanya satu. Memastikan bahwa masyarakat patuh terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai. Jika mengacu pada pasal 3, pasal 17, serta pasal 18, sanksi administratif nya berupa membayarkan sejumlah uang tertentu. Di sisi lain, dalam pasal 24-26, ketentuan pidana nya mencakup hukuman penjara selama tiga atau tujuh tahun serta membayarkan denda sebesar tiga ratus hingga lima ratus juta tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan.
Sutan R.H. Manurung
Managing Director Eksakta Strategic
Ketua Dewan Reviu Mutu Kantor Jasa Akuntan – Ikatan Akuntan Indonesia
Pengurus Daerah DKI – Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia