Gawat Indonesia Terancam Impor CPO untuk Program Hilirisasi

0

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Hadi Sugeng mengungkapkan, Indonesia terancam impor sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk program hilirisasi.

Hadi mengatakan, produktivitas minyak sawit nasional saat ini stagnan bahkan cenderung menurun. Rata-rata produktivitas CPO hanya dikisaran angka 3,2-3,3 juta ton per hektare per tahun.

“Ini adalah realita yang ada, baik di Malaysia maupun Indonesia kecenderungannya adalah melandai menurun,” kata Hadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (19/6).

Produksi dan produktivitas sawit ini yang cenderung menurun, lanjut Hadi, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, keterlambatan melakukan replanting (peremajaan) sawit yang sudah tua.

“Umur tanaman kita secara statistik Indonesia 40 persen atau 6,57 juta hektare itu sudah memasuki masa tua dan itu harus secepatnya direplanting. Ini petani dan perusahaan,” kata Hadi.

Lantas faktor yang kedua, adanya moratorium sawit atau penghentian pemberian izin baru pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

“Adanya moratorium dari awal sampai hari ini kita sudah tidak bisa lagi menambah luasan. Jadi, dua hal ini yang trigger kenapa produksi kita stagnan dan cendung menurun,” kata dia.

Hadi mengatakan, apabila tantangan tersebut tidak segera diatasi Indonesia maka volume ekspor akan otomatis menurun karena prioritas untuk kebutuhan domestik.

“Kita akan korbankan ekspor, devisa akan korban karena kita mementingkan untuk kebutuhan domestik yang merupakan food, oleochemical, dan juga biodiesel,” kata Hadi.

Kemudian, kemampuan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membiayai program-program lanjutan pasti akan semakin menurun.

“Seperti yang disampaikan oleh Pak Kabul (Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana BPDPKS) tadi men-support biodiesel men-support replanting dan kegiatan-kegiatan yang lainnya,” kata dia.

Bahkan, lanjut Hadi, keberlanjutan hilirisasi dan peningkatan program biodiesel (bauran solar dengan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit) juga terancam kekurangan pasokan bahan baku.

“Terus kemudian juga pada akhirnya nanti program hilirisasi juga akan terancam. Jangan-jangan nanti kita malah impor CPO untuk program hilirisasi di tempat kita,” kata Hadi.

Berdasarkan data Sucofindo, lima tahun ke depan Indonesia akan defisit CPO apabila ekspor sawit tetap dipertahankan pada 30-32 juta ton per tahun dengan produksi hanya 59 juta ton CPO di tahun 2025.

“Jadi kalau kita me-maintain ekspornya di angka 30-an juta ton (per tahun) kita pasti akan minus dan itu artinya apa? Kita akan impor CPO,” ujar Hadir.

Skenario Gapki

Hadi mengatakan, Gapki telah membuat skenario agar CPO terdongkrak kembali. Pertama melakukan replanting untuk petani 150.000 hektare per tahun dan perusahaan besar ada dua opsi 300.000 hektare per tahun atau 500.000 hektar per tahun.

“Artinya kalau kita melakukan replanting selama ini sampai dengan tahun 2023 untuk pola pertama yaitu petani 150.000 hektare kemudian perusahaan 300.000 hektare, produksi di tahun 2045 itu sekitar 65 juta ton, artinya naik 10 persen dari kondisi saat ini,” jelas Hadi.

“Nah, apabila program ini lebih agresif petani 150.000 hektare kemudian perusahaan 500.000 hektare juga angkanya mirip-mirip sekitar 64,7 juta ton artinya juga hanya 10 persen dari kondisi saat ini,” sambung dia.

Kendati demikian, berdasarkan hitungan Hadi, masih ada kekurangan (gap) sekitar 27,1 juta ton CPO. Pasalnya, pemerintah menargetkan 92,4 juta ton CPO pada tahun 2045.

“Kemudian apabila kita pertahankan food dan oleochemical tetap di angka 24 juta ton dan fame di B40 maka akan ada peningkatan 6,5 juta ton dari kondisi tadi 19 juta menjadi 26 juta. Kemudian ekspor itu nanti akan terjadi penurunan sekitar 6,5 juta ton,” kata dia.

Menurut Hadi, idealnya untuk mencapai target produksi 92,4 juta ton CPO tahun 2045 sesuai dengan roadmap dibutuhkan tambahan lahan 4,5 juta hektare

“Opsinya adalah paling tidak kita membuka areal baru. Jadi dari 16,38 hektare ini kemudian kita akan membuat lagi 4,5 juta hektare untuk menutupi gap produksi ini,” kata dia.

Dia menambahkan, jika ini bisa dicapai 92,4 juta ton, konsumsi domestik bisa tercapai termasuk di dalamnya biodiesel yaitu 50 juta ton dan ekspor masih bisa di angka 42 juta ton.

“Nah volume ekspor ini sangat penting karena ini adalah terkait dengan pembiayaan kekuatan kita untuk membiayai yang lain 42 juta ton ini sekitar hampir 50 persen lah,” pungkasnya.

Skenario kedua, replanting untuk perusahaan 500.000 hektare juga angkanya mirip produksinya hanya bisa 64 juta. Artinya masih ada gap yang lebih tinggi lagi menjadi 27,8 juta ton terhadap rencana roadmap 2045.

“Nah ini sama eh kurang lebihnya juga kita memerlukan areal baru sekitar 4,5 juta hektare dengan 6,5 juta itu akan bisa menutupi 27,8 juta ton,” pungkas dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini