Kementerian Pertanian (Kementan) melaporkan bahwa produksi kakao mengalami penurunan selama periode 2019 hingga 2024, dengan tingkat penurunan mencapai 0,55 persen.
Namun, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementan, Heru Tri Widarto, tingginya harga kakao saat ini menjadi peluang bagi pemerintah dan petani untuk meningkatkan produksi kakao.
“Kondisi ini menjadi peluang bagi pemerintah dan petani untuk dapat melakukan
strategi mendorong melalui budidaya dan teknologi yang dimiliki dengan dukungan
sumberdaya alam,” kata Heru saat dihubungi, Senin (2/9).
Heru menjelaskan, berdasarkan data sementara, produksi kakao tahun 2023 sebesar 641.741 ton, menurun 1,4 persen dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 650.612 ton.
“Kita pernah mengalami peningkatan pada periode 2015-2019 hingga mencapai
puncaknya pada 2018 dengan 767.280 ton, dan penurunan yang signifikan pada periode
tahun 2020-2021 dari 720.661 ton menjadi 688.210 ton,” kata dia.
Tantangan utama yang dihadapi petani kakao saat ini adalah tingkat produktivitas yang masih di bawah potensi maksimal. Saat ini, produktivitas berada di angka 0,75 ton/ha, sementara potensi maksimumnya dapat mencapai 2,5 ton/ha.
“Tingkat produkvitas masih belum maksimal, yaitu di bawah 1 ton/ha (0,75 ton/ha) sedangkan potensi maksimum bisa mencapai 2,5 ton/ha,” kata Heru.
Selain itu, aspek mutu kakao juga mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain serangan organisme pengganggu tanaman, infeksi penyakit, serangan hama penggerek buah kakao (PBK).
“Faktor lain yang memengaruhi mutu adalah bahan tanam kakao yang digunakan, penanganan pascapanen, dan sistem usahatani,” kata Heru.
Heru menjelaskan, teknologi yang tersedia untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan kakao mencakup bahan tanaman unggul, informasi mengenai kesesuaian lahan, serta teknologi perbanyakan bahan tanaman.
“Selain itu, teknologi pengendalian hama dan penyakit utama, teknologi sambung samping dan sambung pucuk, teknologi pengolahan hasil, serta pengembangan industri kakao juga berperan penting,” kata dia.
Untuk mengatasi masalah kualitas biji kakao, Kementan melalui Ditjenbun telah mengambil langkah-langkah konkret. Kualitas biji kakao seringkali ditentukan oleh warna biji setelah fermentasi, sehingga penanganan pascapanen kakao sangat penting untuk meningkatkan kualitas biji kakao sesuai dengan SNI 2323-2008/Amandemen 1-2010.
Pemeraman buah kakao, fermentasi, dan pengeringan biji kakao mempengaruhi pembentukan karakteristik prekursor rasa kakao.
“Kementan telah memberikan bantuan berupa Unit Pengolahan Hasil (UPH) yang dilengkapi dengan kotak fermentasi biji kakao dan alat pengering, seperti solar dryer atau dome solar dryer,” kata dia.
Heru menjelaskan, Kementan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas kakao. Ditjenbun aktif mendorong kolaborasi dengan lembaga riset, perguruan tinggi, dan sektor swasta dalam berbagai aspek.
Kerja sama ini mencakup penyiapan benih unggul, penerapan teknologi budidaya seperti sambung pucuk dan sambung samping, serta penerapan Good Agricultural Practices (GAP). Selain itu, upaya juga dilakukan dalam pengelolaan pascapanen dan teknologi pengolahan atau hilirisasi.
“Pemerintah dalam hal ini Ditjen sedang mendorong Perkebunan partisipatif bersama lembaga, perguruan tinggi, dan swasta mulai dari penyiapan benih unggul, budidaya, dan penerapan GAP,” kata Heru.
Kementan juga berkolaborasi dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao serta melakukan kajian evaluasi sistem budidaya kakao. Kerjasama ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas kakao dari berbagai aspek, termasuk pemasaran.