Industri Kelapa dalam Negeri Cenderung Tidak Berkembang

0
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa di Kantor Bappenas, Jakarta, dikutip Selasa, 1 Oktober 2024.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika, menyoroti potensi besar kelapa Indonesia yang belum termanfaatkan sepenuhnya.

Dia menyebut, industri kelapa di dalam negeri cenderung tidak berkembang, sehingga berdampak pada rendahnya nilai tambah produk kelapa. Hal ini juga mempengaruhi harga kelapa di pasar yang cenderung stagnan.

“Sehingga, kita utilisasi industri yang ada sekarang 40 persen sampai dengan 55 persen,” ujar Putu dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa di Kantor Bappenas, Jakarta, dikutip Selasa lalu.

Pria kelahiran Buleleng ini mengatakan bahwa pengolahan kelapa saat ini masih banyak terfokus pada daging kelapa saja. Sementara air kelapa, serabut, dan tempurungnya masih sangat minim diolah.

“Kalau kita lihat di roadmap-nya, itu banyak sekali nilai tambah yang begitu besar yang bisa didapatkan dari pengolahan kelapa. Tapi kita belum masuk ke sana,” ungkap Putu.

Menurut, Putu, Indonesia mempunyai buffer untuk mempertahankan harga kelapa di sektor hulu. Misalnya, dengan mengolah kelapa menjadi fuel (bahan bakar).

“Kelapa itu hampir sama dengan komposisi kimianya dengan kernel sawit atau inti sawit.  Kelapa ini adalah bahan baku yang paling bagus untuk oleokimia. Ya, tapi kita masih belum berjalan ke sana,” kata dia.

Putu berharap agar bioavtur bisa dikembangkan dari kelapa di masa mendatang. Menurutnya, kelapa memiliki kandungan asam laurat yang tinggi, yakni mencapai 40 hingga 50 persen, sehingga berpotensi menjadi bahan baku yang baik untuk bioavtur.

“Daripada kita kelebihan minyak nabati, mungkin ini kita coba usul ke sana,” kata pria lulusan The University of Tsukuba, Jepang ini.

Putu menyatakan, sudah saatnya Indonesia fokus pada pengelolaan kelapa yang lebih hilir. Selama ini, ekspor kelapa Indonesia masih didominasi oleh produk mentah seperti kelapa butir, kopra, dan Crude Coconut Oil (CCNO) atau minyak kelapa.

Hal ini membuat Indonesia kurang bersaing dibandingkan negara-negara seperti Filipina dan Thailand yang telah lebih maju dalam memanfaatkan produk turunan kelapa.

“Jadi, kalau Filipina memang CCNO sebagian besar,  sudah nggak ke kelapa dan kopra,  tapi kalau Thailand ini, ini yang menguasai ready to drink. Nah, kita juga ini semestinya sudah masuk ke makin ke hilir,” ujar Putu.

Untuk fokus pada hilirisasi, Putu mencatat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu jaminan bahan baku, produktivitas kebun kelapa, injeksi teknologi, dan akses pasar.

“Akses pasar ini sangat menentukan sekali  karena kita ketinggalan daripada Thailand dan Filipina, sehingga kita bagaimana meraih akses pasar, karena ini yang nanti sebagai lokomotif menggerakkan hulu,” kata dia.

Di samping itu, Putu juga menekankan pentingnya pembiayaan. Dia mengatakan bahwa pihaknya telah menginisiasi pembentukan Badan Pengolahan Dana Perkebunan (BPDP) untuk mendukung pengembangan industri kelapa.

“Nah pembiayaan, kebetulan pembiayaan sudah kita siapkan. Jadi, nggak usah khawatir, tapi sekarang bagaimana peta jalan ini kita bisa sempurnakan, sehingga kita bisa biayai,” ungkap Putu.

Putu meyakini bahwa pengelolaan kelapa tidak memerlukan dana yang banyak, tetapi bisa memberikan pengembalian yang luar biasa dari investasi tersebut.

“Nah, kenapa kita sangat urgent ini kita lakukan, karena kami berkeyakinan kita cuma perlu tidak banyak dana, tapi kita bisa menyumbangkan pengembalian luar biasa dari dana-dana tersebut,” ujar Putu.

“Itu yang kami yakini. Sehingga, ini sedang kita lakukan, sedang kita persiapkan, dan waktunya sangat tepat. Jadi kita sudah mempunyai grand strategy, nanti bagaimana kita grand strategy ini masuk ke pembiayaan,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini