Kementerian Pertanian (Kementan) buka-bukaan soal menurunnya produksi beras, yang menyebabkan Indonesia harus impor dari negara tengga.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP), Kementan, Dedi Nursyamsi mengatakan, turunnya produksi beras erat kaitannya dengan alokasi pupuk subsidi.
Dedi menjelaskan, dari 2014 hingga 2018 alokasi pupuk subsidi relatif konstan di angka 9,5 juta ton. Kemudian, sejak tahun 2019, anggaran subsidi pupuk terus mengalami penurunan hingga berada pada Rp 24 triliun pada 2023.
“Kenapa (produksi beras) berkurang? Harga pupuknya naik, sementara duitnya (anggarannya) tetap sama, kurang lebih Rp 25 triliun,” kata Dedi pada Training of Trainers (TOT) ‘Pupuk Subsidi dan Peningkatan Produksi Padi dan Jagung Nasional’ di BBPMKP Ciawi, Selasa (20/2).
Mahalnya bahan baku pupuk, khususnya urea dan kcl, yang diimpor dari Rusia yang sedang berperang dengan Ukraina menjadi alasan pupuk mahal. Perang melibatkan dua negara bertetangga ini juga menghambat proses distribusi.
“Itu yang menyebabkan harga pupuk naik, duitnya tetap berarti jumlah pupuk yang bisa dibeli pasti berkurang alokasi pupuk subsidi juga berkurang dari 9,5 juta ton, turun 7,5 ton juta ton, turun 6,5 juta ton, turun lagi jadi 4,8 juta ton,” kata dia.
Bersamaan dengan itu, lanjut Dedi, produksi beras pun berangsur turun sejak swasembada pada 2022. Hal itu ditandai dengan dibukanya keran impor beras untuk stok cadangan beras pemerintah (CBP) dari 2021 hingga awal 2024.
“Jadi, benar apa yang dikatakan oleh para petani itu bahwa ternyata pupuk berkurang, produksi pun berkurang. Yang paling banyak dipermasalahan oleh para petani saat ini, detik ini, tidak lain adalah pupuk,” kata Dedi.
Karena itu, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar alokasi pupuk subsidi tahun ini ditambah menjadi Rp 14 triliun untuk mendongkrak kembali produksi khusunya padi dan jagung.
“Alhamdulillah, saat beliau bertemu dengan para petani, para penyuluh sudah mengeluarkan pernyataan bahwa pupuk subsidi di 2024 ditambah Rp 14 triliun,” kata dia merujuk pada pembinaan petani seprovinsi Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas, Selasa (2/1).
Dedi menyebutkan, pupuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas hingga 40 persen. Kendati demikian, sumber daya manusia (SDM) pertanian tidak kalah pentingnnya terhadap meningkatkan produktivitas dan produksi.
“Saya sudah sering sampaikan bahwa yang paling berperan didalam meningkatkan produktivitas dan produksi jagung padi itu tidak lain adalah SDM pertanian (50 persen),” kata Dedi.
Lantas, inovasi teknologi dan peraturan perundangan mulai dari peraturan presiden hingga peraturan desa masing-masin hanya memberikan kontribusi sebesar 25 persen terhadap produktivitas.
“Jadi yang paling besar peranannya terhadap peningkatan produktivitas itu tidak lain adalah SDM pertanian. Siapakah SDM pertanian? Tidak lain adalah para petani, tidak lain adalah para penyuluh, tidak lain adalah seluruh stakeholder pertanian Indonesia,” kata dia.
Menurut Dedi hal ini telah terbukti pada tahun 1970, program Bimas (Bimbingan Massal) dan Panca Usaha Tani yang dicanangkan Presiden Soeharto itu berhasil meningkatkan produksi beras di sentra produksi beras, terutama di daerah Pantura.
“Saat itu, produktivitas rata-rata naik dari sekitar 2 ton per hektare menjadi 3 ton per hektare, naik lagi menjadi 3,5 ton per hektare, menjadi 4 ton per hektare, bahkan hampir 4,8 ton per hektare,” kata Dedi.
Menurut Dedi, aktor yang melakukan bimbingan massal saat itu adalah penyuluh. Dengan kata lain, keberhasilan saat itu berkat penyuluhan yang dilakukan penyuluh.
“Pengalaman manis, pengalaman indah itu harus kita ulang sekarang kalau kita mau meningkatkan produksi, kalau kita ingin swasembada lagi, kalau kita ingin setop impor, bahkan kita ekspor,” imbuh Dedi.