
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (PERHIPTANI), Mulyono Machmur, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi penyuluhan pertanian di Indonesia.
Dia menjelaskan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, penyuluhan pertanian mengalami berbagai kendala signifikan yang menghambat optimalisasi kinerja penyuluh di lapangan.
Mulyono menyoroti pembubaran kelembagaan penyuluhan sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan penyuluhan pertanian tidak berjalan dengan optimal.
Menurut dia, sejak kelembagaan penyuluhan dibubarkan, pendanaan untuk penyuluhan menjadi tersendat, mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan tidak efektif.
“Kelembagaan penyuluhan dibubarkan dan pendanaannya seret. Akhirnya, penyelenggaraan penyuluhan menjadi tidak optimal,” ujar Mulyono usai menghadiri Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Penyuluh Pertanian Mau Kemana?’ di Hotel Aston Simatupang, Jakarta, Selasa (2/7).
Dia menambahkan bahwa meskipun masih ada penyuluh pertanian, mereka tidak dapat bergerak secara efektif karena tidak ada pihak yang mengomando dan memobilisasi mereka. Penyuluh swadaya, seperti Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S), sebenarnya siap untuk berperan, namun mereka juga memerlukan dukungan dan koordinasi yang jelas.
“Ada penyuluh, tapi tidak bergerak. Tidak ada yang mengomando, tidak ada yang memobilisasi penyuluh,” tambah Mulyono.
Mulyono menjelaskan pentingnya peran backstopper, yaitu pendukung teknis yang membantu penyuluh di lapangan. Dulu, ada Penyuluh Pertanian Swadaya (PPS) di tingkat kabupaten yang berperan sebagai backstopper. Namun, saat ini peran tersebut kurang optimal karena tidak adanya dukungan dari kepemimpinan formal seperti bupati, wali kota, camat, hingga kepala desa.
“Kalau tanpa backstopper, penyuluh tidak dapat bergerak dengan optimal,” jelas Mulyono.
Mulyono mengingatkan bahwa pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan berkat peran penyuluh yang sangat signifikan.
Penyuluh memainkan peran penting dalam menyampaikan teknologi pertanian, membantu petani mengakses modal, dan menjamin pasar untuk hasil pertanian. Namun, tanpa dukungan yang memadai, penyuluh tidak dapat berfungsi secara efektif.
“FAO mengatakan bahwa peran penyuluh lebih dari 60 persen dalam swasembada pangan tahun 1984. Namun, penyuluh tidak bisa berdiri sendiri,” ungkap Mulyono.
Saat ini, jumlah penyuluh pertanian di Indonesia sekitar 35.000 orang, yang tersebar di berbagai tingkatan pemerintahan. Banyak dari mereka lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas administratif daripada mendampingi petani di lapangan.
Mulyono menyarankan agar penyuluh ditarik kembali menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Pusat seperti dahulu, sehingga pemerintah dapat dengan mudah memobilisasi mereka sesuai kebutuhan di berbagai daerah.
“Penyuluh lebih banyak mengerjakan masalah administratif daripada mendampingi petani. Mereka harus ditarik kembali menjadi ASN Pusat,” kata Mulyono.
Menurut Mulyono, keberhasilan penyuluhan juga sangat bergantung pada kepedulian kepala daerah terhadap pertanian. Di beberapa daerah, bupati yang peduli pada pertanian dapat memberdayakan penyuluh dengan baik. Namun, di daerah lain yang kepala daerahnya tidak peduli, penyuluh hanya dianggap sebagai beban anggaran.
“Kalau bupatinya peduli pertanian, penyuluh diberdayakan. Tapi kalau tidak, penyuluh dianggap hanya menghabiskan anggaran,” ujar dia.
Mulyono berharap, dalam pertemuan dengan DPR mendatang, situasi penyuluhan pertanian yang sesungguhnya dapat disampaikan dan diperhatikan. Penyuluhan pertanian sangat penting untuk meningkatkan produksi pertanian.
Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang jelas dan dukungan anggaran yang memadai agar penyuluhan dapat berjalan efektif dan memberikan kontribusi nyata terhadap pertanian Indonesia.
“Kita tidak bisa meningkatkan produksi jika masalah penyuluhan diabaikan,” tegas Mulyono.
Sementara itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, mengatakan, meskipun jumlah penyuluh tersedia, namun mereka seringkali tidak dapat bergerak seiring karena perbedaan kepentingan dan kurangnya komando yang terpusat. Hal ini menjadi hambatan dalam memaksimalkan peran penyuluh dalam mendukung produktivitas pertanian.
Dia menyoroti urgensi untuk merevisi kebijakan, khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, guna menyesuaikannya dengan konteks dan kebutuhan saat ini.
Dalam konteks otonomi daerah yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, perlu adanya penyesuaian wadah kelembagaan penyuluhan di setiap daerah agar lebih terstruktur dan efisien.
Pada pertemuan ini, para pemangku kepentingan juga sepakat bahwa penyuluh yang merupakan ASN dan P3K perlu ditarik ke pusat untuk memastikan adanya koordinasi yang lebih baik dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan.
“Kita perlu memastikan bahwa ada satu komando yang jelas dan terkoordinasi dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian,” kata Yadi dalam pernyataannya.
Pertemuan ini juga menegaskan komitmen untuk menghidupkan kembali peran penyuluh sebagai kunci dalam mencapai swasembada pangan di Indonesia.
Dengan memperkuat koordinasi, revisi kebijakan, dan penguatan struktur kelembagaan, diharapkan penyuluhan pertanian dapat memberikan dampak yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan petani dan keberlanjutan sektor pertanian.
Pemangku kepentingan berencana untuk terus berdiskusi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah guna mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan dari pertemuan ini.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat segera diimplementasikan untuk memastikan penyuluhan pertanian dapat bergerak dan memberikan kontribusi maksimal bagi pertanian Indonesia.