Meski Menang di WTO, Potensi Hambatan Ekspor Sawit ke Uni Eropa Masih Ada

0
hgu kebun sawit
Ilustrasi

Meskipun Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi Eropa (UE) terhadap sawit dalam sengketa dagang sawit di World Trade Organization (WTO), potensi hambatan ekspor ke Benua Biru masih ada.

Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), M. Fadhil Hasan  menjelaskan, hal ini karena Indonesia masih menunggu hasil revisi dari Renewable Energy Directives (RED) II.

“Memang benar kita sudah menang dari WTO, tapi kita masih menunggu hasil revisi dari Renewable Energy Directives (RED) II. Seperti apa hasil revisi tersebut,” ungkap Fadhil baru-baru ini kepada awak media.

RED II atau juga dikenal dengan sebutan Amendment Renewable Energy Directive 2009/20/EC, merupakan pedoman yang digunakan UE dalam penggunaan energi terbarukan. 

Di dalamnya termuat kewajiban UE untuk menerapkan energi terbarukan paling sedikit 20 persendari total kebutuhan energi pada 2020. Kebijakan itu juga mengatur penggunaan jenis bahan bakar nabati, namun mengesampingkan bahan bakar nabati dari sawit.  

Fadhil menilai kebijakan ini hanya menguntungkan produk minyak nabati asal UE yang bersumber dari biji rapa. “Artinya kita masih menunggu seperti apa hasil revisi RED II ini,” jelas Fadhil.

Di sisi lain, Fadhil menyambut baik penguatan kerja sama dengan pihak negara luar untuk penguatan sawit, di antaranya dengan Malaysia yang juga sebagai penghasil sawit.

“Penguatan sawit bersama dengan Malaysia sudah kita lakukan, contahnya melalui CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries),” kata dia.

Seperti diketahui CPOPC adalah organisasi antar pemerintah yang didirikan oleh Indonesia dan Malaysia untuk bersama-sama mempromosikan penggunaan global minyak sawit. Bersama-sama, kedua negara memproduksi sebagian besar minyak sawit dunia, sebuah produk yang mendapat tekanan karena masalah lingkungan.

“Kita berharap dengan penguatan sawit dengan negara-negara luar bisa dapat mendorong sektor sawit,” harap Fadhil.

Namun, Fadhil mengakui, hambatan industri sawit tidak hanya semata-mata dari luar negeri, tetapi juga bersumber dari dalam negeri itu sendiri, seperti kebijikan yang kurang mendukung.

“Sehingga ini membuat iklim investasi sawit menjadi tidak koindusif,” pungkas Fadhil.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini