Industri kelapa sawit Indonesia yang berkembang pesat, penggerak penting bagi perekonomian negara ini dan pemain kunci dalam rantai pasokan pangan dan energi global.Pemerintah perlu menata ulang regulasi teknis danmendorong keberpihakan yang lebih besar kepada petani kecil.
Hal ini mengemuka dalam Diskusi Terbatas yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu (15/5/2025), di Jakarta.
Dalam diskusi kebijakan terbatas yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia yang dihadiri para pejabat senior, pemangku kepentingan industri, dan pakar lingkungan mengakui kebutuhan mendesak akan reformasi kelembagaan dalam mengelola sektor kelapa sawit nasional.
Pertemuan ini menandai langkah penting menuju pembentukan strategi jangka menengah dan panjang untuk tata kelola kelapa sawit yang berkelanjutan.
Sektor ini berkontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan nasional dan tujuan energi terbarukan, tetapi kita tidak dapat mengabaikan tantangan internal dan eksternal yang terus ada — mulai dari fragmentasi regulasi hingga tekanan pasar global.
Ilmuwan dan pengamat lingkungan Petrus Gunarso, menekankan bahwa budidaya kelapa sawit pada dasarnya tidak merusak. “Minyak kelapa sawit tidak merusak lingkungan — jika dikelola dengan bijak dan dengan pengetahuan yang baik,” kata Gunarso.
Ia menekankan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang industri minyak kelapa sawit harus dimulai dengan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip konservasi.
Untuk mendukung perspektif ini, Gunarso mempersembahkan dan secara resmi menyerahkan buku terbarunya, Konservasi Alam Indonesia, kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Pambudy.
Buku setebal 434 halaman ini mencerminkan penelitian dan advokasi selama bertahun-tahun untuk pembangunan berbasis konservasi.
“Itulah sebabnya saya menulis buku tebal ini,” tambahnya.
Pimpinan Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika, memaparkan, permasalahan utama industri sawit Indonesia bersumber dari kelembagaan, produktivitas, serta tekanan global yang semakin kompleks.
“Kita melihat masih rendahnya produktivitas petani, minimnya program peremajaan sawit, hingga tidak optimalnya pemahaman terhadap praktik pertanian berkelanjutan (Good Agricultural Practices/GAP),” ujar Yeka.
Menurutnya, pemahaman petani terhadap sertifikasi keberlanjutan, seperti RSPO dan ISPO, masih rendah.
Banyak petani menganggap sertifikasi tersebut mahal dan memakan waktu, sehingga sulit diakses.
Tantangan internal lain sawit
Tantangan internal lainnya mencakup serangan hama, perubahan iklim, cuaca ekstrem yang tak menentu, serta rendahnya minat generasi muda menjadi petani sawit. Di sisi eksternal, industri sawit Indonesia terus menghadapi tekanan dari kebijakan hijau global yang kerap diskriminatif.
“Standar keberlanjutan yang berbeda-beda antarnegara, serta regulasi non-tarif seperti Forced Labor Regulation dan Human Rights Regulation, makin menyulitkan petani kecil kita bersaing di pasar global,” ungkap Yeka.
Koordinasi yang lemah antar lembaga pemerintah turut memperburuk efektivitas berbagai program nasional, seperti replanting (peremajaan kebun sawit rakyat). Data dari CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) menegaskan pentingnya penguatan jejaring antarkelompok tani dan koperasi sawit.
Penyelesaian Tumpang Tindih Lahan
Pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Dalam hal lahan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status Hak Atas Tanah (HAT), maka lahan tersebut harus segera dikeluarkan dari kawasan hutan.
Perbaikan Sistem Perizinan dan Administrasi Tata Kelola
Pemerintah perlu memperbaiki sistem perizinan dan menata ulang administrasi tata kelola industri kelapa sawit. Termasuk di dalamnya adalah percepatan pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) bagi pekebun rakyat, serta mendorong pemenuhan sertifikasi ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan sawit.
Integrasi Perizinan Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
Pemerintah perlu melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian PKS dan perizinan pendukung lainnya. Proses perizinan sebaiknya diintegrasikan dan dikoordinasikan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian yang membidangi Perkebunan.
Kebijakan Terintegrasi Tata Niaga
Pemerintah perlu menetapkan kebijakan tata niaga hasil produksi kelapa sawit yang terintegrasi untuk pasar nasional dan internasional. Pemerintah harus menjamin kepastian harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani (plasma dan swadaya), serta menerapkan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Selain itu, perlu dibangun sistem pungutan ekspor yang adil atas produk sawit dan turunannya.
Pembentukan Badan Nasional Sawit
Untuk mendukung pelaksanaan saran-saran di atas, Pemerintah perlu segera membentuk Badan Nasional Pengelola Industri Kelapa Sawit, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Badan ini akan mengoordinasikan tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir.
Diskusi terbatas ini menjadi bagian dari penyusunan strategi jangka menengah dan panjang dalam penguatan kelembagaan industri kelapa sawit nasional.