Pemerintah Resmi Cabut HET Minyak Goreng Kemasan

0

Pemerintah resmi mencabut peraturan mengenai Harga Eceren Tertinggi (HET) untuk komoditas minyak goreng kemasan.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan alasan pemerintah mencabut peraturan HET minyak goreng kemasan tersebut. Menurutnya, pemerintah melakukan hal itu karena seiring terjadinya kelangkaan terhadap komoditas pangan tersebut di lapangan.

“Iya dicabut HET (hari ini). Jadi harga minyak goreng kemasan dibebaskan, tetapi untuk curah dibatasi Rp 14 ribu per liter,” kata Oke Nurwan, di Jakarta (16/3/2022).

Oke mengatakan, pihaknya saat ini sedang memproses Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terbaru soal HET minyak goreng. Oke mengaku Permendag tersebut telah dilakukan sosialisasikan ke pasar-pasar sejumlah daerah.

“Saya ke pasar dan sudah berkoordinasi tadi pagi, silakan untuk minyak goreng kemasan lepas dengan harga keekonomian,” ujar Oke.

Oke tak menampik bahwa minyak goreng saat ini langka di berbagai daerah. Jika pun ada, harganya banyak yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.

Toko ritel modern pun sudah mulai menjual minyak goreng dengan harga sesuai mekanisme pasar mulai Rabu (16/3/2021). Gerai Indomaret, misalnya, sudah menjual minyak goreng dengan harga Rp 24.000/liter dan Rp 47.000/2 liter.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga minyak goreng kemasan bermerk I dijual dengan harga Rp 20.700/kg pada Rabu (16/3/2022). Harga tersebut jauh di atas HET yang ditetapkan yakni Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium dan Rp13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.

Menyerahnya pemerintah tidak bisa dilepaskan dari huru hara yang terjadi di masyarakat akibat kelangkaan pasokan minyak goreng. Di beberapa daerah, antrian pembelian minyak goreng bahkan sampai ricuh.

Lalu, sebenarnya berapakah harga keekonomian minyak goreng saat ini dengan mempertimbangkan harga minyak sawit yang bergerak di pasar dunia?

“Menurut hitungan kami normal price Rp 22.900-23.000/liter untuk kemasan sederhana. Kemasan premium Rp 24.600-25.000/liter. Dengan harga segitu, minyak goreng premium akan membanjiri pasaran,” tutur Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada CNBC Indonesia.

Harga tersebut sudah menghitung harga minyak sawit mentah, ongkos tenaga kerja, serta harga kemasan yang berkisar Rp 1.900 untuk kemasan sederhana dan Rp 2.500 untuk kemasan premium. Sahat mengatakan untuk harga keekonomian untuk minyak goreng curah saat ini ada di level Rp 20.300.

Peneliti dari Researcher at Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya mengatakan harga keekonomian minyak goreng kemasan ada di atas Rp 20.000/liter.

Dia menjelaskan hitungan Neraca Bahan Makanan Kementerian Pertanian menyebutkan konversi input (CPO) ke output untuk minyak goreng sawit sebesar 68,28% sementara konversi satuan dari kilogram ke liter dengan hitungan 1 liter = 0,8 kg. Konversi itu akan dilakukan harga minyak sawit mentah yang berlaku dan dikalikan 100%.

“Ilustrasinya kalau konversi CPO cuma 50%, berarti kita butuh dua unit CPO untuk mendapatkan 1 unit minyak goreng (100/50). Kalau konversi 68,28%, berarti untuk dapat 1 unit minyak goreng butuh 100/68.28 unit CPO = 1,46,” jelas Aditya.

Dengan merujuk harga KPB Dumai saat per 15 Maret yang mencapai Rp 15.591 per kg maka hitungannya 100/68,28 x 0,8 x Rp 15.591 atau sekitar Rp 18.267. “Ada tambahan margin sekitar 10%, belum masuk biaya tenaga kerja, operasional dan lain-lain,” ujar Aditya.

Kendati memegang status produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia tidak bisa menentukan sendiri harga minyak goreng sesuai keinginan. Konsumsi Indonesia harus berada di angka 60% dari total produksi jika ingin menjadi penentu harga.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), konsumsi lokal minyak sawit Indonesia pada tahun 2021 ada di angka 18,42 juta ton atau 36%. Konsumsi minyak goreng premium atau dalam kemasan domestik hanya 35% dari total sementara sisanya adalah konsumen minyak goreng curah.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 5,07 juta ton (25,07%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sisanya sebesar 15,55 juta ton (74,93%) untuk tujuan ekspor.

Kementerian Perindustrian juga menyebutkan kebutuhan minyak goreng sawit (MGS) nasional tahun 2021 sebesar 5,07 juta ton, terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 1,62 juta ton (32%), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42%), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4%), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22%).

Secara keseluruhan, penggunaan CPO untuk untuk konsumsi pangan termasuk minyak goreng lokal hanya mencapai 8,95 juta ton. Kebutuhan tersebut sangat sedikit dibandingkan total produksi CPO dalam negeri. Sebagai catatan, pada tahun lalu, produksi CPO mencapai 46,88 juta ton, turun tipis dibandingkan pada tahun 2020 (47,03 juta ton).

Dengan sejumlah fakta tersebut, Indonesia seharusnya tidak memiliki persoalan untuk memenuhi pasokan minyak goreng. “Persoalannya, kenapa hilang?Penyebab utamanya adalah adanya disparitas harga sekitar Rp 8.000-9.000/liter,” ujar Sahat.

Dia menambahkan dengan harga minyak goreng yang lebih murah, ada kecenderungan masyarakat untuk membeli dalam jumlah besar atau aksi panic buying karena takut tidak mendapatkan stok. Pada konferensi pers, akhir Februari lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga menemukan adanya dugaan beberapa praktik ilegal seperti penimbunan serta keputusan menahan pasokan oleh distributor.

Selain melepas harga minyak goreng kemasan ke pasar, pemerintah akan mensubsidi harga minyak goreng curah di level Rp 14.000/liter. Langkah pemerintah untuk mensubsidi minyak goreng curah sebenarnya juga dilakukan negara lain. Negara tetangga Malaysia sudah melakukan itu selama bertahun-tahun.

Pemerintah Malaysia memberlakukan dua kebijakan harga untuk minyak goreng. Melalui Program Skim Rasionalisasi Minyak Masak (COSS) yang mulai berjalan sejak 2016, Malaysia membanderol minyak goreng subsidi dengan harga MYR 2,5/kg atau sekitar Rp 8.850/kg (kurs 1 MYR= Rp 3,420).

Minyak goreng bersubsidi tersebut dijual dengan kemasan polybag sederhana seberat 1 kg dan harganya tidak terpengaruh kenaikan hargaCPO.

Malaysia menyiapkan subsidi sebesar MYR 600 juta atau sekitar Rp 2,05 triliun pada tahun ini untuk program COSS. Alokasi minyak subsidi per bulan adalah 60.000 ton sebulan.

Pakistan juga memberikan subsidi untuk harga minyak goreng sebesar PKR 105 atau sekitar Rp 8.350/liter. Sementara itu harga minyak tak bersubsidi dijual dalam kemasan botol dengan harga PKR 6,70/kg atau Rp 22.914/kg. Untuk kemasan 2 kg dijual dengan harga PKR 12,70 (Rp 43.434) dan 3 kg seharga PKR 18,70 (Rp 60.870).

Turki memberikan subsidi dalam bentuk lain yaitu dengan membebaskan bea masuk untuk produk minyak nabati. Langkah itu diambil Maret lalu menyusul melambungnya harga minyak goreng hingga ke level US$ 14/lima liter.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini