Realisasi pelaksanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Upaya pemerintah untuk mempercepat program ini kebentur regulasi baru yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, yakni Permentan No.03 Tahun 2022.
Masih jauh panggang dari api. Upaya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan target seluas 180.000 hektar (ha) per tahun dalam tiga tahun terakhir ini (Secara keseluruhan 540 ribu ha dalam kurun 2020 – 2022), agaknya mustahil untuk diwujudkan.
Pangkal soalnya, ada persyaratan baru yang mesti dipenuhi petani sawit sebelum permohonan untuk meremajakan (replanting) kebun sawit mereka disetujui dan didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Persyaratan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.03 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian Dan Pengembangan, Peremajaan, Serta Sarana Dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, yang berlaku sejak 18 febrauri 2022.
Dalam Pasal 17 Permentan yang mengatur tentang Kriteria Peremajaan tersebut, dinyatakan bahwa status lahan yang diajukan oleh petani sawit untuk diikutsertakan dalam program PSR harus bisa dibuktikan dengan keterangan: a. tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut, dari unit kerja kementerian yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan; dan b. tidak berada di lahan Hak Guna Usaha (HGU), dari kantor pertanahan.
Karena itulah, tak usah heran bila realisasi pelaksanaan program PSR tahun 2022 pun sangat jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. BPDPKS menyebutkan bahwa capaian program PSR tahun 2022 masih rendah, yakni hanya 30.700 hektar (ha). Realisasi tersebut jauh dari target Presiden Jokowi sebesar 180.000 ha. Dan pencapaian tersebut juga turun dibandingkan realisasi PSR tahun 2021 yang seluas 42.000 ha.
Menurut Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurachman, rendahnya capaian tersebut lantaran terkendala persyaratan PSR yang diatur dalam Permentan No. 3 Tahun 2022 . Dalam beleid itu, mau tidak mau harus mengikutsertakan kementerian lain, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait kawasan hutan (KH) dan bebas gambut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional terkait izin hak guna usaha (HGU) dan sertifikasi yang tidak diakui.
“Kendalanya sendiri terhadap pemenuhan persyaratan keterangan tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut serta keterangan tidak berada di lahan HGU. Ini akan terus kami koordinasikan ke depannya dengan kementerian/lembaga terkait agar PSR bisa terus dilakukan,” papar Eddy dalam acara Konferensi Pers Kinerja Sektor Sawit, di Jakarta, Kamis (22/12/2022).
Eddy menambahkan, sejak 2016 sampai dengan 2022, secara keseluruhan realisasi penyaluran dana PSR seluas 273.666 ha untuk 120.168 pekebun dengan dana mencapai Rp7,52 triliun yang tersebar di 21 provinsi di Indonesia.
Tak hanya Eddy, Gulat Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengaku kaget dengan klausul baru yang diatur dalam Permentan No.03 Tahun 2022 tersebut.
Soalnya, lanjut Gulat, dalam draft Permentan No.03/2022 sampai final hingga uji publik dan uji akademis, tidak ada disebut mengenai syarat PSR harus bebas lahan gambut. “Lalu kenapa setelah disahkan muncul syarat tadi. Siapa yang menyusupkan (Syarat) ini?” tanya Gulat.
Padahal, lanjut Gulat, Permentan No. 03 Tahun 2022 tersebut menjadi rujukan bagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam pemberian dana yang dikelola dari pungutan ekspor sawit.
Adanya syarat bebas gambut ini membuat gaduh petani yang tergabung dalam beberapa grup sawit di WhatsApp. “Salah seorang anggota grup mengatakan, saya juga kaget kenapa harus ada syarat ini. Jadi memperlambat (PSR) lagi karena harus menyurati kantor KLHK di Jakarta dengan cap basah dari dinas kabupaten. Infonya masalah gambut hanya ditangani oleh Direktorat PPKL di Jakarta, tidak memiliki unit kerja di daerah,” kata Gulat.
Sadino, pakar hukum di bidang kehutanan dan perkebunan menjelaskan bahwa apabila kebun petani sawit yang sudah tertanam dan berumur puluhan tahun lalu dimasukkan dalam KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut ) Lindung sama halnya dimasukkan menjadi kawasan hutan, maka semua perkebunan sawit petani tidak lagi punya nilai.
“Ini sama saja mematikan kebun sawit petani secara perlahan-lahan dengan dalih lingkungan hidup. Mereka melupakan di lingkungan itu utamanya adalah manusianya,” tegas Sadino.
Data Apkasindo yang ada menunjukkan bahwa permasalahan status lahan menyebabkan 86% usulan PSR gagal karena lahan mereka diklaim KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berada dalam kawasan hutan.
“Padahal kebun kelapa sawit petani yang mau diremajakan itu sudah berumur di atas 20 tahun. Kemana KLHK selama ini? Klaim tadi belum termasuk embel-embel baru, mesti clear dari Kawasan Lindung Gambut (KLG). Ini menjadi misterius, lantaran di draft dan pembahasan tidak ada. Tapi setelah menjadi Permentan 03/2022, syarat lahan tidak berada di KLG itu muncul,” paparnya menandaskan.
Selanjutnya dalam persyaratan administrasi, 78% petani yang mengusulkan melalui Dinas Perkebunan (Disbun) setempat, terkendala melengkapi persyaratan, lantaran bingung ke mana meminta rekomendasi.
Bahkan, ungkap Sadino, Malaysia sebagai negara yang juga penghasil crude palm oil (CPO) tidak sungkan-sungkan untuk menggunakan lahan gambut demi kemakmuran rakyatnya.
“Namun mengapa di Indonesia lahan gambut masih diperdebatkan meski untuk lahan pertanian demi meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tukasnya .