Realisasi rekomendasi teknis (Rekomtek) Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tahun ini baru mencapai 14.581 hektare atau 12,15 persen.
PSR merupakan program pemerintah untuk membantu petani kecil memperbaharui perkebunan kelapa sawit mereka dengan pohon yang lebih berkelanjutan dan berkualitas.
Program ini bertujuan meningkatkan produktivitas, memperbaiki tata kelola perkebunan, dan mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal.
“Realisasi Rekomtek (PSR, Red) saat ini mencapai 14.581 hektare atau 12,15 persen dari 120.000 hektare,” ujar Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Kementerian Pertanian (Kementan), Ardi Praptono kepada Majalah Hortus, Jakarta, Sabtu (18/5).
Ardi mengatakan, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) terus melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait agar target PSR pemerintah tahun ini bisa tercapai.
“Ditjenbun terus melakukan sosialisasi dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk percepatan dengan mempertimbangkan usulan PSR harus sesuai dengan ketentuan,” ujar Ardi.
Di samping itu, lanjut Ardi, Ditjenbun juga sedang melakukan upaya revisi Permenta No 03 Tahun 2022 Tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, Serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Saat ini Ditjenbun sedang melakukan upaya revisi Permentan No 03 Tahun 2022, salah satunya melakukan penyederhanaan terkait dengan keterangan tidak kawasan hutan dan tidak dalam Hak Guna Usaha (HGU),” imbuh Ardi.
Diketahui, pemerintah juga berencana menaikkan dua kali lipat dana program PSR kepada para pekebun rakyat. Dari awalnya dana yang diterima hanya Rp 30 juta per hektare kini naik jadi Rp 60 juta per hektare.
Kabar ini disampaikan Menteri Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto usai rapat terbatas dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (27/2).
Airlangga menjelaskan, anggaran dinaikkan menjadi Rp 60 juta per hektare sesuai dengan kajian akademis dan juga komunikasi langsung dengan para petani sawit.
Menurut dia, petani sawit yang mendapatkan bantuan program peremajaan sawit kesulitan bila bantuan hanya Rp 30 juta per tahun. Biaya itu hanya cukup untuk digunakan operasional selama setahun saja, sementara itu sawit baru bisa dipanen hasilnya selama 4 tahun.
“Kenapa harus dinaikkan Rp 60 juta? Karena dari hasil kajian naskah akademik dan juga komunikasi dengan para pekebun itu untuk replanting mereka baru bisa berbuah di tahun ke 4, sehingga kalau dananya hanya Rp 30 juta itu hanya cukup untuk mereka hidup di tahun pertama. Beli bibit lalu hidup di tahun pertama saja,” papar Airlangga