Selama 13 Tahun, hanya 0,3% Sertifikasi ISPO untuk Petani, Perlu Aturan yang Adil, Setara dalam Akses dan Inovasi

0

Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait pembangunan perkebunan berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

Tahun 2015, pedoman ini mengalami perubahan nomenklatur melalui Permentan nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO). Komitmen ini kembali diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia serta Permentan No. 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggara ISPO.

Selama hampir 13 tahun, ISPO didorong untuk diterapkan kepada pelaku usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, termasuk petani swadaya. Namun ketercapaian sertifikasi ISPO oleh petani masih sangat kecil, yaitu baru 81 sertifikat dengan luasan 60.235,58 hektare, dari penguasaan lahan oleh petani seluas 6,94 juta.

13 tahun pelaksanaan ISPO di Indonesia baru mencapai 0,3% sertifikasi bagi petani kelapa sawit. padahal sebenarnya tahun 2025, mesti sudah hampir 100% karena terdapat target pemerintah bahwa pada tahun tersebut sistem itu bersifat wajib. Karena itu perlu ada gerakan yang masif dan inovatif dengan menerapkan sistem sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan. Menurut SPKS, hanya dengan pendekatan ini akan mempercepat sistem sertifikasi di Indonesia khususnya petani skala kecil.

Sistem sertifikasi saat ini belum mampu menjawab tantangan di tingkat petani kelapa sawit khususnya untuk petani yang belum berkelompok yang berjumlah sangat besar sekitar 70% dari total 6,9 juta ha luas kebun petani.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan pentingnya memperluas akses pendanaan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kelapa sawit. Menurutnya, akses tersebut tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi seperti SPKS yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani. Sabarudin menyoroti hal ini dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta.

Lebih lanjut, Sabarudin menyampaikan bahwa SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 Kabupaten. Namun, sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena terkendala oleh masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO.

“Sayangnya pemerintah tidak memperhatikan masalah pendanaan ini, terutama ketika petani tersebar di berbagai lokasi seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau, dimana ada 1000 petani yang ingin menerapkan ISPO,” ujar Sabarudin.

Sementara Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun), Prayudi Syamsuri, capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang masih tertinggal, lantaran baru seluas 5,6 juta hektar, atau capaian ISPO saat ini hanya mencapai sekitar 37,08 persen. Sebab itu guna mengatasi kendala tersebut, fokus utama ditujukan pada peningkatan kelembagaan dalam industri ini.

Kata Prayudi, pihaknya menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, dirinya meminta Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Lebih lanjut, kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO diminta untuk mendaftar sesuai dengan program Sarana dan Prasarana (Sarparas).

Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, Prayudi, menekankan pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya.

Lebih lanjut tutur Prayudi, revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas, di mana pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory atau voluntary.

“Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif. Model penilaian akan terus disempurnakan untuk mengurangi biaya dan mempercepat proses sertifikasi ISPO, sehingga beban BPDPKS dapat dikurangi dan dialihkan ke koperasi lainnya,” kata Prayudi.

Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, menekankan pentingnya Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai identitas utama dalam menjadikan industri kelapa sawit Indonesia sebagai pelaku yang berkelanjutan. Sunari menegaskan bahwa saat ini sudah tidak relevan lagi membandingkan ISPO dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau sebaliknya. “Mari kita miliki jati diri ISPO dan menjadi sawit berkelanjutan versi Indonesia, kami hanya mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sunari menjelaskan bahwa sebelumnya BPDPKS hanya memberikan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan Legalisasi Sarana (LS) dalam proses sertifikasi. Namun, kini pendekatan tersebut telah berubah. BPDPKS akan memperbaiki prosesnya dengan memberikan penguatan kepada petani untuk memulai proses ISPO. Pihaknya terus mendorong inisiatif ini karena prinsip ISPO yang terus membangun. “Membangun itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, dan saat ini kita akan memberikan pelatihan kepada petani terlebih dahulu tentang Legalisasi Sarana sebelum mereka memperoleh ISPO. Kami mendorong petani untuk mengadopsi ISPO,” tegas Sunari.

Dengan pendekatan baru ini, diharapkan bahwa lebih banyak petani kelapa sawit akan terlibat dalam proses sertifikasi ISPO, sehingga industri kelapa sawit Indonesia dapat terus meningkatkan standar keberlanjutannya dan menjadi pemain utama dalam pasar global yang menghargai prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah BPDPKS ini diharapkan dapat mempercepat transformasi industri kelapa sawit Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka menyebut bahwa, kendala dana dalam proses sertifikasi bisa diatasi bila petani sawit yang mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah banyak, dalam pengalaman yang telah dilakukan bila mensertifikasi ISPO dengan petani sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 170 per ha.

Lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2000 petani, maka biaya yang muncul hanya sekitar kurang US$ 50 per ha.

Selanjutnya, kata Steni, insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.

“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Pemda untuk memfasilitasi kerjasama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tandas dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini