Industri kelapa sawit Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan di tahun 2024. Dari sisi ekonomi global, ketidakpastian masih membayangi pertumbuhan ekonomi global khususnya negara-negara maju.
Begitu kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono pada acara Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 dan Konferensi Pers di Ayana Midplaza, Jakarta, Selasa (27/2).
“Amerika Serikat (AS) masih dilanda inflasi yang di atas target, China sebagai salah satu konsumen terbesar, minyak sawit juga masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19,” kata Eddy.
Begitu juga dengan Eropa, sambung Eddy, kondisi ekonominya melemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi inflasi yang masih tinggi.
Alahsil, ekspor produk Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) mengalami penurunan 2,38 persen dari 33,15 juta ton di tahun 2022 menjadi 32,21 juta ton di tahun 2023. Sementara, ekspor biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton.
“Penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan Uni Eropa yakni sebesar 11,6 persen dari 4,13 juta ton di tahun 2022 menjadi 3,70 juta ton di tahun 2023,” sebut Eddy.
Sebaliknya, ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33 persen dari 3.183 ribu ton menjadi 4.232 ribu ton, China naik 23 persen dari 6.280 ribu ton menjadi 7.736 ribu ton, India naik 8 persen dari 5.536 ribu ton menjadi 5.966 ribu ton dan AS naik 10 persen dari 2.276 ribu ton menjadi 2.512 ribu ton.
Sementara itu, lanjut Eddy, eskalasi geopolitik global kian memanas. Di saat eskalasi laut hitam yang belum mereda akibat perang Rusia dan Ukraina, kini dunia juga harus menghadapi eskalasi geopolitik di laut merah akibat perang Israel dan Palestina.
“Eskalasi geopolitik ini juga diperkirakan dapat memberikan dampak besar terhadap pasokan komoditas mengingat laut merah merupakan jalur strategis perdagangan global,” ucap Eddy.
Eddy memperkirakan volume ekspor tahun ini akan mengalami penurunan, terutama karena meningkatnya kebutuhan dalam negeri. Sementara, produksi diperkirakan akan stagnan.
“Konsumsi dalam negeri diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, terutama untuk kebutuhanpangan, industri oleokimia dan kebutuhan energi (biodiesel) dengan adanya implementasi Biodiesel (B35) secara setahun penuh,” tutur dia.
Adapaun harga minyak nabati dunia termasuk minyak kelapa sawit tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 2023.
Untuk memastikan peningkatan produksi dan menjamin dipenuhinya kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, kata Eddy, GAPKI mengusulkan penyelesaian perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.
“GAPKI terus mengusulkan bahwa bagi kebun sawit yang sudah memiliki alas hak baik itu SHM maupun sertifikat HGU semestinya sudah bukan Kawasan Hutan lagi. Penyelesaian pasal 110 B jangan sampai menyebabkan pengurangan areal yang signifikan yang akan berdampak kepada pengurangan produksi sawit,” ucap dia.
Lantas, memastikan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berjalan sesuai dengan targetnya (target 180.000 hektare per tahun). Hambatan yang masih ada harus dapat diselesaikan.
“Peraturan yang tumpang tindih perlu segera diselesaikan, khususnya peraturan terkait kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) 20 persen, karena masih menimbulkan kekisruhan di lapangan,” sambung dia.
Selanjutnya, untuk jangka panjang, perlu dipertimbangkan kemungkinan dibangun kebun sawit untuk energi khususnya pada kawasan yang sudah terdegradasi, sehingga kebutuhan minyak sawit untuk energi tidak menganggu kebutuhan untuk pangan, industri dalam negeri dan ekspor.