UU Cipta Kerja Sektor Kehutanan Jangan Anaktirikan Petani Sawit

0

Akhir Desember 2020, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berkirim surat kepada Presiden Jokowi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan dan Perkebunan. RPP ini adalah salah satu turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020.

Perkumpulan petani kelapa sawit terbesar di dunia ini terpaksa mengirim surat setebal 17 halaman itu lantaran isi RPP tadi sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit.

“Sanksi administrasi yang ada di RPP itu sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit. Mulai dari denda yang tidak masuk akal hingga luasan maksimal kebun petani sawit yang bertentangan dengan Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Di UU 39 itu sebutkan bahwa kebun petani kelapa sawit maksimal 25 hektar. Sementara di RPP disebut hanya 5 hektar yang diakomodir,” kata Ketua DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung dalam konferensi pers virtual, Selasa malam (12 Januari 2021).

Adapun soal sanksi denda yang tak masuk akal tadi dikatakan lelaki 48 tahun ini, bahwa RPP dibuat simulasi rumus bahwa denda yang harus dibayar petani adalah Rp25 juta x lama menguasai lahan dikali luas lahan dikali  volume kayu yang ditebang saat membuka lahan.

“Rumus ini sangat tidak masuk akal dan saya pastikan petani tak akan ada yang sanggup membayar. Nilainya puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah jika menggunakan rumus tersebut,” rinci ayah dua anak ini dan dari mana pulak bisa dipastikan bahwa ada tegakan kayu di kebun yang ditanam petani.

Yang paling membikin Apkasindo khawatir,  kata Gulat, di RPP itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. “Sementara itu, mayoritas petani sawit justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas.”

Petani sawit adalah investor karena petani  menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalamkawasan hutan seluas 2,73  juta hektar jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang sebesar 546 Triliun, termasuk biaya sosialnya.

Belum lagi dihitung kerugian Pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi Penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp 825 Triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini maka total nya mencapai Rp1.370 Triliun. Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Eksport) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.

“UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup, “tambah Gulat.

Menurutnya, apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis  Presiden-Wakil Presiden terkait PSR dan ISPO (Program PSR, Peremajaan Sawit Rakyat dan Sawit berkelanjutan ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani. Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya Hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).

“Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid 19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia, sebagaimana Pidato Presiden saat Rakernas Pembangunan Pertanian (11-01-2021) tentang ekonomi Indonesia bahwa Sawit adalah tertinggi penyumbang nilai eksport Indonesia,” jelas Gulat.

Ia berharap Presiden menegur semua perangkat yang terlibat dalam penyusunan RPP ini. Sebab dalam UU Cipta Kerja sudah bagus dan kami APKASINDO setuju dengan roh UUCK tersebut.

Tapi dalam RPP tidak sesuai dengan harapan besar yang sudah disampaikan presiden di beberapa kali pidato. “Kami menduga ada niat jahat yang terstruktur, masif dan sistimatis dalam rencana besar Presiden Jokowi memperbaiki sistem regulasi kehutanan dan perkebunan di Indonesia ini yang sudah puluhan tahun sengaja dibiarkan berantakan,” tegasnya.

Makanya sejak awal dibahas Rancangan UUCK ini, kata Gulat, petani sawit APKASINDO mendukung sepenuhnya dan setelah disahkan oleh DPR RI kami juga yang pertama menyatakan dukungan penuh melalui deklarasi di 134 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi DPW APKASINDO seluruh Indonesia. “Untuk itu kami petani sawit jangan dikhianati Tim RPP UUCK ini, kami jangan dianaktirikan,” pintanya.

Satu lagi yang dianggap petani sawit sangat tidak berpihak pada petani sawit, kata Gulat, kalau kebun perusahaan terindikasi dalam kawasan hutan lindung, diberi waktu berusaha di sana selama 15 tahun. “Tapi kalau petani sawit di kawasan hutan lindung, harus segera dikembalikan kepada Negara,” kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Lantaran itulah, kata Gulat, di surat Apkasindo kepada Presiden meminta semua kebun sawit petani yang berada dalam kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan, pemetaan dan penataan batas, berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UUCK, dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.

“Kami juga minta dimasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan  ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit dan kami juga minta difasilitasi untuk mempermudah proses  penyelesaian klaim kawasan hutan itu,” ujarnya .

Selain itu DPP Apkasindo juga menyoroti dan keberatan dengan ketentuan Pasal 55 RPP yang bertentangan dengan Pasal 110B UU Cipta Kerja karena mengatur ketentuan proses penyidikan yang sedang berjalan atas dugaan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan hutan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja tetap dilanjutkan, padahal ketentuan Pasal 110B UU Cipta Kerja sudah jelas mengatur kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tersebut tidak dikenakan sanksi pidana, melainkan sanksi adminitrasi. Dengan demikian jika pun ada proses penyidikan yang sedang berjalan seharusnya dihentikan demi hukum karena bukan tidak pidana, bukan malah melanjutkan proses penyidikannya.

“Proses penyidikan itu muaranya adalah sanksi pidana, jadi kalau UU CK sudah menentukan sanksinya adalah administrasi, maka adalah salah besar melanjutkan proses penyidikan itu”, kata Gulat Manurung.

Sementara itu, Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, justru meminta supaya pemerintah segera membuat pasal torpedo berupa pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu.  

“Mumpung Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan sedang digodok, bikin saja itu,” pintanya.

Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. “Kalau rakyat itu petani sawit, biar dia bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” katanya.

Toh juga kata dia, tidak ada kesalahan rakyat diklaim kawasan hutan itu, otoritas kehutanan saja yang lamban melakukan tata batas.

“Kalau dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat,” pintanya.

Sudarsono mengingatkan supaya otoritas kehutanan jangan sesekali memaksakan langgamnya kepada rakyat yang tidak mengerti apa-apa soal hukum.

“Tak akan kelar-kelar. Ada saja nanti alasannya kenapa lambat. Alasan anggaranlah, inilah. Jangan digantung-gantung nasib rakyat itu,” pintanya.

Di sisi lain, Anggota Divisi Riset dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR), Petrus Gunarso, PhD, menyebut bahwa tujuan Presiden Jokowi memerintahkan anak buahnya menyusun UUCK adalah untuk memastikan orang bisa berinvestasi dengan tenang, mudah, murah dan tenaga kerja pun terserap.

“Kalau RPP yang disusun menimbulkan kegaduhan, kebun yang tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sangat luas, sejatinya juga investasi. Penyelesaian untuk “investasi” ini perlu dicari” kata ayah tiga anak ini.

Lebih jauh mantan Ketua Forum Kolaborasi Rimbawan Indonesia (FKRI) ini menyebut, kalau tujuan UUCK itu untuk menciptakan iklim investasi yang lebih positif, melihat besarannya, kenapa bukan investasi rakyat ini saja yang segera  diselesaikan secara elegan?

“Memformalkan dan melegalkan “keterlanjuran”, sebenarnya penyelamatan investasi juga,” katanya.

RPP seperti yang saat ini ada kata Petrus, nampaknya belum menjadi solusi bagi para petani/pekebun yang terlanjur berinvestasi. Ini berarti, RPP itu belum sejalan dan belum seirama dengan cita-cita UUCK itu. 

Lelaki 63 tahun ini mengulas kembali soal kawasan hutan yang menjadi sumber masalah itu. Bahwa tata batas belum jelas, tata ruang belum disepakati, batas tidak diketahui dan dipahami, proses sering kurang prosedural, maka terjadilah berbagai keterlanjuran.

“Kalau ratusan orang bahkan ribuan orang masuk ke kawasan hutan, mustinya dari awal sudah tahu dan harus dicegah, tapi kenapa setelah kebun petani menghasilkan dan bahkan ada yang sudah tua, baru mau dibenahi dengan sangsi dan denda?”ujarnya.  

Kehutanan juga kata Petrus keliru jika menunjuk kawasan hutan untuk rencana dilepaskan. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah untuk dijadikan hutan tetap, bukan ditunjuk untuk dapat dikonversi.

“Menurut hemat saya, ada kekuasaan yang berlebihan. Kehutanan masih beranggapan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 itu masih berlaku. Padahal itu sudah lama dicabut dan diganti dengan Undang-Undang sektor, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan,” katanya.

Hal terpenting dari perubahan itu kata Petrus adalah perlunya penetapan kawasan hutan yang mengacu pada tata ruang. Artinya perlu ada kesepakatan mengenai penetapan kawasan hutan dan tata ruang.  

“Rakyat mengelola secara ilegal, itu tidak sepenuhnya tepat. Kalau ilegal dihukum dong. Jadi, sepatutnya sebutan itu informal. Kalau rakyat mengelola secara informal, maka langkah pemerintah adalah bagaimana hal itu menjadi formal,” pinta Petrus. 

Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Ir. Tungkot Sipayung meminta pemerintah jangan menganaktirikan petani kelapa sawit, tapi justru harus dijadikan anak kandung yang paling berbakti.

Sebab kata lelaki 55 tahun ini, selama ini petani kelapa sawit tidak pernah menyusahkan pemerintah, sebaliknya malah petani kelapa sawit sudah terlalu banyak membuat yang terbaik untuk Negara. “Kontribusi petani sawit dalam ekspor sawit Nasional mencapai 41 persen. Tahun 2020, kontribusi petani sawit mencapai USD9 miliar,” katanya.

Angka itu berasal dari pendapatan pemerintah dari ekspor sawit tahun 2020 yang mencapai lebih dari USD20 miliar. “Petani sawit juga menyumbang dana pungutan sekitar 41 persen. Kalau misalnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana Rp15 triliun, 41 persennya berasal dari sawit rakyat,” rinci Dosen Pascasarjana Universitas Tri Sakti ini.

Petani sawit kata Tungkot selalu menyelesaikan persoalannya sendiri, mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. “Ini berarti mereka berjasa mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, bukan dengan PP dari UUCK malah yang terjadi sebaliknya,” tegas Tungkot.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini