Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kemenkeu menargetkan program peremajaan kakao pada 2026 seluas 5.000 hektare secara nasional.
Sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 132 tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan, mandat BPDP tidak lagi terbatas pada sawit, tetapi diperluas untuk untuk komoditas kakao dan kelapa.
Kepala Divisi Umum BPDP, Adi Sucipto, menjelaskan target ini bersifat tahunan dan disesuaikan dengan ketersediaan bibit serta kesiapan lahan.
“Perlu dipahami bahwa target kami itu berdasarkan kesediaan bibit,” ujar Adi dalam acara Press Tour Kontribusi Kakao untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Perekonomian di Bali, Senin (24/11).
Adi lebih lanjut menjelaskan, target tersebut juga menyesuaikan dengan regulasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dan aturan turunan yang sedang digodok Kementerian Pertanian.
“Kenapa kami cuma menyediakan 5 ribu? Pertama, satu terkait dengan aturan main Permentannya sampai dengan hari ini belum selesai,” kata dia.
“Bagaimana pola mainnya, per hektare itu mau dapat berapa, apa yang kami bisa bantu, kami belum tahu. Nilai bantuan per hektare itu apa, kami belum tahu,” sambung dia.
Selain itu, kendala yang dihadapi bukan hanya ketersediaan bibit, tetapi juga legalitas lahan dan kesediaan pekebun kakao untuk ikut program, karena sifatnya volunteer, bukan mandatori.
Saat ini, pihaknya sedan menantikan pengajuan resmi untuk peremajaan perkebunan kakao melalui pemerintah daerah, termasuk salah satunya dari Sulawesi bagian tengah. “Tapi, kami ingin ada kepastian bahwa lahan mereka itu clean and clear,” imbuh dia.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPB) Bali, Muhamad Mufti Arkan menjelaskan bahwa kakao memberikan kontribusi penting bagi ekonomi Bali.
“Di Bali, kakao termasuk penyumbang pertumbuhan ekonomi yang signifikan, terutama pada sektor pertanian dan perkebunan. Selain mendorong Produk Domestik Regional Bruto (BDRB), kakao juga menyerap tenaga kerja, terutama pada masa pandemi,” ujar dia.
Muhamad Mufti menambahkan, kakao di Bali juga berkontribusi pada devisa melalui ekspor dan mendukung nilai tukar petani, yang secara konsisten berada di atas angka 100.
“Untuk yang di Bali Kakao ini termasuk yang menyumbang Nilai tukar petani yang cukup besar Karena dia selalu di atas 100 Yang lain kadang di bawah 100 dia di atas 100,” kata Muhamad Mufti.
Arkan menegaskan, pemerintah sangat memperhatikan sektor perkebunan, termasuk kakao. Tahun 2025, anggaran yang dialokasikan untuk pertanian, perkebunan, dan kehutanan di Bali, termasuk kakao, mencapai Rp100,388 miliar, dengan realisasi saat ini 63,83 persen atau sekitar Rp66,31 miliar.
Pada tahun 2024, pemerintah menggelontorkan dana Rp582 miliar untuk pembangunan bendungan Bandungan Sidan yang mendukung pertanian, perkebunan, dan pengairan. Sebelumnya, pada 2022, pembangunan Bendungan Tamblang dilakukan dengan total anggaran Rp820,8 miliar.
“Ini menunjukkan dukungan pemerintah yang luar biasa untuk infrastruktur yang mendukung sektor pertanian dan perkebunan di Bali,” imbuh Arkan.






























