Antisipasi Tarif Impor Trump 32%, GAPKI Usulkan Kurangi Bea Ekspor Sawit

0
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengusulkan relaksasi bea ekspor untuk produk minyak sawit yang akan dikirim ke Amerika Serikat untuk menjaga pangsa pasar. Saat ini, Indonesia mendominasi 89% pangsa pasar sawit di Amerika Serikat.

Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan bahwa pangsa pasar sawit Indonesia di Amerika Serikat mencapai 89 persen. Dalam 5 tahun terakhir pun, ujar dia, produk sawit Indonesia melonjak signifikan ke negeri Paman Sam tersebut.

“Iya kemarin rapat dengan Menko, Mendag, Wamenlu, Wamen Perindustrian dan Wamenkeu, kami sampaikan ekspor Indonesia 5 tahun terakhir meningkat ke AS. Jadi sebelum 2022 di bawah satu juta. 2020 udah 1,5 juta, di 2023 udah tembus 2,5 juta, turun sedikit 2,2 juta di 2024. Tapi potensi ini masih meningkat lagi,” ujar Eddy dalam rapat yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga  Hartarta, Senin (7/4/2025).

GAPKI hadir dalam dalam kegiatan Sosialisasi dan Masukan Asosiasi Pelaku Usaha terkait Kebijakan Tarif Resiprokal Amerika Serikat.

Oleh karena itu, Eddy berharap dengan adanya tarif progresif Presiden Trump itu, beban ekspor sawit Indonesia bisa dikurangi. Sebab, kata dia, saat ini ada tiga sumber beban ekspor mulai dari Domestic Market Obligation (DMO), Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) yang totalnya mencapai USD221 per metrik ton sawit.

Jika tidak dipotong, Eddy khawatir pangsa pasar sawit Indonesia bisa diserobot negara tetangga yang sama-sama penghasil minyak sawit.

“Malaysia saja hanya USD140 dolar per meterik ton beban ekspornya. Malaysia 24 persen dan kita 32 persen. Jadi mau tidak mau kita potong beban ekspornya. Makanya saya ini sampaikan, dan pemerintah akan melihat bagaimana akan melakukan special treatment untuk ekspor ke Amerika, nantinya,” ujar Eddy.

Karena itu, Eddy berharap Indonesia segera bertindak untuk mengamankan pangsa ekspor AS supaya tidak digeser negara produsen sawit lain seperti Malaysia dan Amerika Latin.

“Namun, Malaysia menghadapi hambatan isu child labour. Namun tetap harus diwaspadai karena Malaysia dibebankan tarif lebih rendah dari Indonesia sebesar 24%,” tuturnya.

Eddy optimis pemerintah dapat menyelesaikan persoalan kebijakan tarif impor ke Amerika Serikat setelah melihat tanggapan dan rencana dari pemerintah supaya menjaga stabilitas daya saing komoditas lokal.

 

Sejumlah langkah strategis telah ditempuh Pemerintah mulai dari menghitung dampak pengenaan tarif baru Amerika Serikat terhadap ekonomi Indonesia secara keseluruhan, menjaga stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) ditengah gejolak pasar keuangan global paska pengumuman tarif resiprokal Amerika Serikat, hingga melakukan upaya bersama Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan likuiditas valas tetap terjaga agar tetap mendukung kebutuhan pelaku dunia usaha serta memelihara stabilitas ekonomi.

Menko Perekonomian RI Airlangga juga menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto juga telah menginstruksikan melakukan perbaikan struktural serta kebijakan deregulasi yaitu penyederhaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Measures (NTMs). Hal tersebut juga sejalan dalam upaya meningkatkan daya saing, menjaga kepercayaan pelaku pasar dan menarik investasi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah juga telah berkoordinasi secara intensif dengan Amerika Serikat melalui tim lintas Kementerian dan Lembaga, melakukan pertemuan United States Trade Representative (USTR), dan U.S. Chamber of Commerce.

Menko Airlangga juga bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia untuk menjaga kepentingan ekonomi dan memperkuat kerja sama ASEAN yang memilih upaya diplomasi dan negosiasi dibanding mengambil langkah retaliasi. Pemerintah juga merevitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan menambahkan isu sektor keuangan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini