Kementan Dorong Pekebun Gunakan Benih Bersertifikat

0
Direktur Perbenihan Perkebunan, Gunawan pada acara PodcasBun, dilihat wartawan Majalah Hortus, Jumat (16/2).

 

Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, 30 persen benih yang diakses oleh petani dan pekebun saat ini belum bersertifikat.

Benih berserfikat adalah beni yang berasal dari pohon atau sumber terpilih yang sudah ditetapkan oleh Kementan. Produsen yang memproduksi, mengedarkan, dan mendistribusikan juga telah mendapatkan izin.

“Sampai saat ini di data yang kami analisis, 30 persen peredaran benih yang diakses oleh petani dan pekebun tidak bersertifikat,” kata Gunawan pada acara PodcasBun, dilihat wartawan Majalah Hortus, Sabtu (17/2).

Gunawan menyebutkan, paling tidak ada tiga faktor yang melatari petani dan pekebun lebih memilih benih ilegitim (benih yang tidak jelas asal usulnya) dibandingkan dengan benih yang bersertifikat.

Pertama, kata Gunawan, masih banyak petani dan pekebun yang hanya berpikir mengakses benih yang murah, tanpa memperhatikan kualitasnya. “Padahal, belum tentu murah itu menjamin kualitas,” kata dia.

Kedua, masih banyak petani dan pekebun yang tidak dekat dengan penangkaran. Lantas, ketiga, penakar yang belum mendapatkan izin, melakukan pemasaran kepada pekebun dengan iming-iming berkualitas dan lebih baik.

Di samping itu, lanjut Gunawan, petani dan pekebun juga sulit mendapatkan benih bersertifikat karena legalitas usaha mereka belum sesuai aturan, misalnya lahannya belum clear and clean, berada di kawasan hutan, dan Hak Guna Usaha (HGU).

“Masih terbuka peluang menjual benih-benih palsu karena masih banyak pekebun yang memang peruntukan lahannya bukan untuk perkebunan. Sementara, persyaratan mengakses benih harus dalam tata aturan produksinya sesuai aturan,” jelas Gunawan.

Oleh karena itu, kata dia, Ditjen Perkebunan terus melakukan sosialisasi secara masif kepada petani dan pekebun agar memperhatikan aspek legalitas lahannya, sehingga dapat dengan mudah mengakses benih bersertifikat.

Sebab, harus diakui juga bahwa produktivitas komoditas perkebunan Indonesia, selalu di bawah dari standar dari negara-negara lain. Hal ini disebabkan salah satunya karena masih maraknya penggunaan benih ilegitim.

“Jadi, kalau devisa negara kita sekitar Rp 400 triliun (dari sawit) berarti kita kehilangan Rp 200 triliun (per tahun), kalau kapasitas kita hanya 50 persen dari yang seharusnya maksimal. Itu salah satunya faktornya 30 persen diduga ilegitim,” kata dia.

Namun demikian, lanjut dia, petani dan pekebun sudah mulai sadar untuk menggukan benih bersertifikat. Karena mereka takut tidak mendapatkan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan (Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Karena dia (Kementan) akan melihat SP2BKS (Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit) peruntukannya benar atau tidak. Kalau tidak, otomatis STDB dan ISPO-nya tidak bisa diproses,” kata Gunawan.

Gunawan mengatakan, semua komponen di Ditjen Perkebunan saat ini telah mulai dalam tataran aturan dan saling mengikat satu sama lain. Tujuannya agar industri perkebunan Indonesia lebih baik lagi ke depan.

“Saya sih berpkir dari 30 persen pelan-pelan kita turunkan. Kita reduksi lagi, sehingga semua pekebuna kita bisa buka askes. Kita sih penginnya nol, tidak ada lagi benih yang beredar di perkebunan yang menggunakan benih eligitim,” imbuh dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini