Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni, menyatakan dukungannya terhadap pelimpahan pengelolaan kakao kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kepada Majalah Hortus, Arief menegaskan, jika perubahan ini dilakukan untuk perbaikan kakao, maka ia dan asosiasinya akan mendukung penuh.
“Kalau saya sih standar saja, kalau memang semua untuk perbaikan kakao tentu saya akan mendukung. Prinsip dasarnya seperti itu. Nanti mekanismenya yang barangkali perlu ditata, jangan sampai salah sasaran dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang kompeten,” ujar Arief.
Dia mengingatkan tentang evaluasi pada Gerakan Nasional (Gernas) Kakao sebelum tahun 2012 yang dianggap cukup sukses, meskipun banyak pihak yang kurang kompeten terlibat dalam proyek tersebut. Misalnya, CV yang ditunjuk untuk pembibitan tidak memiliki latar belakang yang sesuai.
“Kami menemukan banyak CV yang tidak punya latar belakang pembibitan yang ditunjuk untuk tugas itu. Pendampingan di lapangan juga kurang kuat pada waktu itu. Begitu pula dengan offtaker pascapanen yang disiapkan kurang memadai, sehingga daya jual masyarakat berkurang,” tambah Arief.
Oleh karena itu, Arief menekankan, pentingnya kolaborasi dengan semua stakeholder kakao ke depan.
“Akan lebih bagus kalau semua stakeholder kakao diajak berbicara, paling tidak kolaborasinya seperti apa. Kami sudah cukup lama mendampingi dan hafal dengan pola-pola yang ada di petani,” kata Arief.
Mengenai potensi perhutanan sosial, Arief melihat peluang besar untuk perluasan area kakao.
“Cukup besar kalau hanya untuk perluasan kakao, sangat besar. Kalau di Jawa saja sekitar 1,1 juta hektare, belum di luar Jawa. Tinggal kita lihat apakah SDM, logistik, dan stakeholder-nya siap atau tidak,” papar Arief.
Arief berharap, potensi perhutanan sosial ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk mendongkrak produksi kakao nasional, selain melakukan replanting atau peremajaan.
“Untuk replanting atau intensifikasi kakao rakyat, memang terdapat banyak keterbatasan. Namun, jika nantinya dikelola oleh sebuah perusahaan tertentu dalam konteks perhutanan sosial, bekerja sama dengan kita yang ada di bawah, saya pikir itu bagus,” ujar dia.
“Bahkan kerjasama dengan masyarakat di bawah hutan juga bisa dilakukan. Yang penting adalah biaya untuk replanting dan intensifikasi itu memungkinkan, saya pikir semuanya akan berjalan lancar,” sambung Arief.
Arief berharap pelimpahan pengelolaan kakao ini kepada BPDPKAS bisa menjadi angin segar dan mendorong Gernas Kakao jilid dua dengan pola yang berbeda.
“Saya berharap semua stakeholder kakao yang berkecimpung di situ nanti dilibatkan, paling tidak menjadi tim besar sehingga lebih fokus,” harap Arief.
Dia optimis dengan dilibatkannya BPDPKS, pengelolaan kakao akan lebih terstruktur dan terarah. Namun, dia juga mengingatkan agar tim yang dibentuk harus benar-benar terdiri dari pihak-pihak yang kompeten dan memiliki kapabilitas dalam bidang kakao.
Dengan dukungan penuh dari APKAI dan pelibatan seluruh stakeholder terkait, diharapkan pelimpahan pengelolaan kakao ini akan membawa perubahan positif dan meningkatkan kesejahteraan petani kakao di Indonesia.
Merujuk data Kementerian Perindustrian, selama periode 2015-2023, terjadi penurunan produksi kakao Indonesia sebesar 8,3 persen per tahun dan terjadi peningkatan impor dari 239.377 ton menjadi 276.683 ton.
Pertumbuhan industri pengolahan kakao belum dibarengi dengan ketersediaan bahan baku yang menyebabkan 9 dari 20 perusahaan berhenti beroperasi. Industri pengolahan kakao saat ini harus mengimpor 62 persen bahan baku biji kakao.
Karena itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi pembentukan kelembagaan kakao dan kelapa untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, meningkatkan daya saing, serta meningkatkan nilai tambah perekonomian yang didapat dari sektor tersebut.
Gayung bersambut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melaksanakan rapat terbatas (Ratas) mengenai Badan Pengelola Dana Kakao dan Kelapa di Jakarta, Rabu (10/7).
Ratas memutuskan, pengelolaan kakao dan kelapa dilimpahkan kepada BPDPKS dengan membentuk dua kedeputian baru, yaitu Deputi Kakao dan Deputi Kelapa.
Selanjutnya, penghimpunan dana tetap dilakukan melalui skema pungutan ekspor yang dikelola langsung oleh BPDPKS.
“BPDPKS sudah mempunyai dana besar yang bisa dipakai untuk sektor kakao dan kelapa, sehingga bisa berjalan segera,” ujar Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, usai ratas tersebut.
Indonesia pernah menduduki peringkat ketiga negara penghasil biji kakao hingga 2015. Kini turun peringkat ke-7. Dari sisi industri, Indonesia sejauh ini menjadi salah satu produsen dan pengekspor ke-4 produk olahan kakao di dunia pada 2023.