Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, menekankan potensi besar pemanfaatan bioteknologi dalam menghadapi tantangan pangan yang dihadapi Indonesia.
Pada kegiatan Sarasehan “Pertanian Berkelanjutan dan Adopsi Teknologi Modern”, Bayu mengungkapkan kekhawatirannya tentang dampak pertumbuhan populasi yang pesat terhadap produksi pangan nasional.
“Indonesia, kira-kira kita akan menghadapi pertambahan penduduk hingga 50 juta jiwa dalam jangka waktu 20-25 tahun ke depan. Di sisi lain, kita akan melihat bahwa menggunakan bisnis as usual, cara-cara yang biasa, maka produksi beras kita diperkirakan akan menurun dan harga-harga diperkirakan akan naik,” kata dia.
Bayu mengatakan, dalam 40-50 tahun terakhir, produktivitas padi di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Bersama Vietnam, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat produktivitas padi yang tinggi.
Namun, jika diperhatikan lebih dalam, potensi pertumbuhan produktivitas padi di Indonesia menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dalam 10-15 tahun terakhir. Produktivitas mulai mengalami stagnasi dan leveling off.
“Salah satu masalah yang besar dalam konteks ini adalah kondisi tanah Indonesia yang semakin hari semakin kehilangan tingkat kesuburannya, terutama karena memang digunakan secara terus-menerus. Tanah-tanah kita menghadapi soil fatigue yang serius dan ini terjadi karena memang eksploitasi yang tinggi,” tutur Bayu.
Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian riset terkini yang menunjukkan bahwa jumlah C-organik di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang berada dalam ambang batas 2 persen, ternyata sangat banyak.
Selain itu, lanjut Bayu, jumlah petani yang terus menurun dan sebagian besar adalah petani usia lanjut menambah kompleksitas masalah regenerasi pertanian di Indonesia.
“Pertanian tidak lagi menjadi hal yang menarik atau semakin tidak menarik bagi generasi muda, bagi generasi-generasi yang akan datang. Ini akan menjadi masalah serius juga di dalam regenerasi dari kegiatan pertanian kita,” kata Bayu.
Untuk mengatasi permasalahan ini, mantan Wakil Menteri Perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan pentingnya bioteknologi sebagai solusi potensial.
“Bioteknologi sudah sangat jelas mampu memberikan kontribusi yang nyata, misalnya kalau dilihat dari pendapatan usaha tani dari tahun 1986 sampai dengan 2018, itu telah mampu meningkatkan nilai produktivitas mencapai kenaikan mencapai USD 225 bilion,” ujar dia.
Selain itu, penggunaan bioteknologi juga mampu menyediakan kondisi alam yang lebih baik dengan mengurangi penggunaan produk-produk perlindungan tanaman yang dalam jumlah yang sangat besar.
Lebih jauh, dengan bioteknologi biodiversitas bisa lebih terjaga, kemudian mengurangi emisi karbon dan tentunya membantu para petani meningkatkan pendapatan dan keluar dari kebiskinan.
“Jadi bioteknologi dalam berbagai bentuk itu menjadi harapan dan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi oleh sekelompok Indonesia. Hanya saja yang mungkin perlu kita perhatikan ke depan bahwa bioteknologi memiliki dimensi yang jauh lebih luas daripada perdebatan panjang mengenai GM,” ujar dia.
Sebagai contoh sering kali perdebatan muncul karena seolah-olah komersialisasi bioteknologi hanya dilihat dari sudut pandang GM crops.
“Dan ini yang mungkin harus kita kembangkan ke depan proses edukasi masyarakat yang lebih baik untuk tidak membatasi bioteknologi dalam konteks itu,” kata Bayu.
Bayu menyatakan bahwa bioteknologi jelas memiliki potensi besar untuk membantu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh petani. Namun, kunci utamanya adalah teknologi tersebut harus dapat diterapkan dan digunakan oleh para petani.
“Karena pada akhirnya yang memproduksi pangan adalah para petani. Tidak ada petani, maka tidak akan ada pangan dan tentunya bagi kita semua tidak ada masa depan,” kata Bayu.
Upaya Bulog Tingkatkan Produksi
Bayu juga menjelaskan, Perum Bulog berkomitmen untuk meningkatkan produksi pertanian dengan meluncurkan kembali dan mengembangkan program Mitra Tani.
Program ini bertujuan untuk bekerja sama dengan petani dalam mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi, termasuk masalah lahan, kekurangan modal, serta kebutuhan akan pupuk dan benih.
“Bulog mencoba untuk melakukan berbagai macam model, untuk model Mitra Tania, ada pendampingan, ada bagi hasil, ada sewa lahan, ada keminteran strategis,” jelas Bayu.
Selain itu, Bulog juga membangun sistem closed loop melalui program MAKMUR, di mana Bulog bertindak sebagai pembeli produk petani. Dalam upaya ini, Bulog menyediakan bantuan dalam hal pembiayaan, pendampingan teknologi, dan berbagai bentuk dukungan lainnya.
Bayu menguraikan, penyediaan input termasuk benih dan kaitannya nanti dengan kemanfaatan bioteknologi itu diharapkan jadi bagian dari closed loop farm partnership Mitra Tani kita.
“Selain bibit dan pupuk, kita juga mencoba mengembangkan mekanisasi, memberikan pelayanan keuangan, logistik untuk penanganan transportasi, baik input maupun outputnya,” ujar Bayu.
Dalam konteks ini, berbagai kerjasama telah terjalin, termasuk dengan PT Pupuk Indonesia, San Hyang Seri, dan Universitas Hasanuddin. Selain itu, terbuka peluang untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam mengembangkan program ini.
Pilot project program ini sudah diterapkan di beberapa wilayah seperti Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, dengan target ekspansi hingga 100-200 ribu hektare.
“Dan memang mungkin luasannya belum masif, namun ini akan menjadi cikal bakal untuk menuju 100 hingga 200 ribu hektare Mitra Tani,” pungkas Bayu.