Suasana di Bali International Convention Center terasa berbeda pagi itu. Di antara deretan stan pameran yang berkilau dan denting gelas kopi di tangan para delegasi, percakapan tentang masa depan industri sawit mengalir deras. Dari urusan tata kelola, pasar global, hingga bioenergi—semuanya bersilang di satu forum: Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) ke-21, Kamis, 13 November 2025.
“Antusiasme untuk acara tahun ini sungguh luar biasa,” kata Mona Surya, Ketua Panitia IPOC ke-21, membuka konferensi dengan senyum lebar. Ia punya alasan untuk bangga. Tahun ini, IPOC mencatatkan rekor baru: 1.545 peserta dari 28 negara menghadiri forum yang sudah dua dekade menjadi barometer arah industri sawit nasional dan global itu.
Tak hanya jumlah peserta, gelombang sponsor pun meningkat. Ada 38 perusahaan terkemuka yang mendukung penyelenggaraan, sementara ruang pameran penuh sesak oleh 113 stan yang menampilkan teknologi, riset, dan inovasi terbaru—dari sistem digitalisasi kebun hingga mesin ekstraksi minyak sawit berteknologi rendah karbon. “Industri ini bukan hanya bertahan, tapi bergerak dengan vitalitas baru,” ujar Mona.
Gairah itu terasa sejak pra-acara. Para peserta lebih dulu menghangatkan suasana lewat turnamen golf yang santai, diikuti networking night dengan hiburan dan koktail. Di balik suasana kasual itu, terselip banyak kesepakatan dan jabat tangan. IPOC memang tak pernah sekadar ruang diskusi, tapi tempat di mana ide dan kepentingan industri bertemu, membentuk arah baru bisnis sawit Indonesia.
Tema besar tahun ini—“Navigating Complexity, Driving Growth: Governance, Biofuel Policy, and Global Trade”—dipilih bukan tanpa alasan. Industri sawit tengah berada di fase paling rumit sepanjang sejarahnya. Volatilitas harga, stagnasi produksi di sejumlah wilayah utama, serta tekanan dari regulasi baru seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) menjadikan bisnis ini seperti berlayar di laut dengan arus berlawanan.
“Dunia sawit hari ini jauh lebih kompleks,” ujar Mona. “Namun, justru di situ peluangnya.”
Menurutnya, tantangan global dan kebijakan lingkungan bukan sekadar beban, melainkan katalis bagi transformasi industri. Regulasi, baik nasional maupun internasional, kini menjadi kekuatan aktif yang membentuk pola produksi, perdagangan, dan investasi di sektor ini. Karena itu, IPOC disusun untuk menjadi ajang membaca arah angin—menakar risiko, tapi juga menangkap peluang.
Selama dua hari konferensi, para pembicara kelas dunia dan pengambil kebijakan membedah topik-topik strategis: dari masa depan kebijakan biofuel Indonesia, tren perdagangan global, hingga prediksi harga minyak sawit mentah. Di sela-sela sesi, para pelaku industri berdiskusi dalam kelompok kecil, membicarakan investasi hijau, efisiensi logistik, dan inovasi keberlanjutan. “Kita butuh pemikiran baru untuk menavigasi kompleksitas ini,” kata salah satu peserta dari Malaysia, yang rutin hadir sejak IPOC pertama kali digelar dua dekade lalu.
IPOC kali ini juga menegaskan posisi GAPKI sebagai jangkar komunikasi antara pelaku industri dan pembuat kebijakan. Melalui forum ini, pandangan strategis disusun: bagaimana industri sawit Indonesia bisa tetap kompetitif di tengah tekanan global, memperkuat tata kelola lewat sertifikasi ISPO, serta memperluas pemanfaatan energi berbasis sawit seperti B35 dan B40.
Lebih dari sekadar konferensi, IPOC telah menjelma menjadi semacam ruang akumulasi pengetahuan tentang sawit Indonesia—sebuah arena tempat data, ide, dan jejaring berpadu. “Kita tidak bisa lagi berpikir dalam sekat-sekat,” kata Mona di sela acara. “Sawit hari ini bicara tentang perdagangan, energi, keberlanjutan, dan masa depan petani kecil sekaligus.”
Menjelang sore, ketika matahari Bali mulai condong ke barat, deretan spanduk IPOC bergetar ringan tertiup angin. Para peserta masih sibuk berdiskusi, menukar kartu nama, atau berfoto di depan panggung utama. Di wajah-wajah mereka tergambar semangat baru: bahwa di tengah tekanan global, industri sawit Indonesia justru menemukan denyut hidupnya kembali.
IPOC ke-21 bukan sekadar mencatat rekor jumlah peserta atau stan pameran. Ia mencatat sesuatu yang lebih penting—kebangkitan optimisme. Sebuah keyakinan bahwa industri sawit Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, masih punya ruang luas untuk tumbuh, berinovasi, dan memimpin dunia.





























