Debat Terbuka; Sawit Bukan Penyebab Deforestasi Terbesar

0

Polemik pembudidayaan kelapa sawit terus bergulir. Ada yang mendukung pemanfaatannya, ada juga yang menentang dengan alasan berdampak pada perubahan iklim global. Padahal, sawit memiliki laju fotosintesa lebih tinggi ketimbang dengan hutan tropika.

Hal tersebut disampaikan Prof. Yanto Santosa, pakar kehutanan Yayasan Pusaka Alam, dalam debat terbuka “Peran Kelapa Sawit dalam Perubahan Iklim Dunia”, diselenggarakan atas kerjasama Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi RJR dengan Pusaka Kalam pada Senin (4/10).

Menurutnya, sawit sangat berguna bagi iklim dunia. Bahkan, sawit bisa menghasilkan oksigen dan juga dapat berkontribusi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi sebuah negara dalam menurunkan gas emisi karbon.

“Sawit memiliki laju fotosintesa lebih tinggi ketimbang dengan hutan tropika,” tegas Prof Yanto.

Menurut Yanto, sawit bukanlah penyebab deforestasi terbesar di dunia. Ia merujuk pada data dari European Commission 2013 bahwa ranch sapi merupakan pemicu deforestasi global dengan luas mencapai 58 juta hektare atau 24,3%. Sementara itu, perluasan kebun sawit hanya 5,5 juta hektar atau sebesar 2,3%.

Selain itu sawit juga mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan adanya kebun sawit, beberapa jenis satwa meningkat. “Memang beberapa mamalia memang turun, tapi untuk burung, kupu-kupu, herpetofauna, kepadatan cacing meningkat,” jelas Pakar Kehutanan Yayasan Pusaka Alam ini.

Yanto juga menjelaskan bahwa sawit didiskriminasi oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Organisasi ini tidak memasukkan sawit ke dalam jenis hutan.

“Ini FAO, bayangkan, bambu, aren, sabu masuk hutan. Kenapa sawit bukan kategori hutan?” ujar Yanto.

Prof. Yanto menguraikan berbagai tekanan dan diskriminasi yang ditujukan kepada kelapa sawit. Kendati tinggi produktivitasnya dan berkontribusi bagi negara faktanya tanaman emas hijau ini mengalami diskriminasi luar biasa. Diskriminasi terhadap sawit dilakukan oleh lembaga internasional dan institusi negara .

Dalam presentasinya berjudul ‘Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan’ diuraikan 6 fakta diskriminasi yang diterima kelapa sawit. Pertama, FAO tidak mengkategorikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan.

”Bayangkan, tanaman seperti bambu, sagu, dan aren masuk kategori tanaman hutan. Satu famili palmae. Lalu kenapa sawit bukan kategori hutan. Ini (definisi) FAO. artinya terjadi diskriminasi terjadi di tingkat internasional,” ujar Yanto.

Kedua, Kementerian LHK tidak mengijinkan tanaman kelapa sawit ditanam di kawasan hutan produksi. Ketiga, Penolakan Permenhut No.62/2019 untuk memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam beleid ini dikatakan Yanto, ada tiga kategori tanaman yang masuk pembangunan HTI yaitu tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya seperti rumput gajah, kelapa, aren, pinang, sagu, bambu. Tetapi tanaman sawit tidak masuk ketiga kategori tadi.

“Anehnya pasal 13 permenhut 62/2019 menjelaskan tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya yang digunkaan untuk biofuel dan biomassa kayu itu boleh dijadikan tanaman HTI. Tetapi kenapa sawit tidak boleh. Jelas ini bentuk diskriminasi nasional,” tegas lulusan S-3 Universite Paul Sabatier Toulouse III, Perancis.

Keempat, kelapa sawit yang luasnya 16,3 juta tidak dihitung sebagai penyerapan gas rumah kaca. Prof Yanto menguraikan bahwa kelapa sawit ini juga melalui proses fotosintesa dan respirasi yang dapat menyerap emisi karbon.

“Dari penelitian berbagai pakar bahwa laju fotosintesa kelapa sawit lebih tinggi daripada hutan tropikal. Karbon stok hutan alam tinggi karena usia tanamannya sudah berpuluh tahun. Tetapi kelapa sawit ini usianya hanya 25 tahun. Jika menghitung dari karbon stok tidak fair karena umurnya berbeda,” ujar Yanto.

Itu sebabnya, lebih fair menghitung penghematan emisi dari laju respirasi dan fotosintesa. Selain itu, biomassa kelapa sawit lebih tinggi dari tanaman lain.

Kelima, kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan dan selalu dituding sebagai deforestasi. Tetapi tuduhan ini tidak berlaku kepada tanaman lain seperti karet, akasia, dan aren.

Menurut Yanto, kontribusi kelapa sawit bagi deforestasi global sangat kecil dibandingkan kegiatan peternakan dan pertanian lainnya. Penyumbang deforestasi terbesar adalah peternakan sapi di Amerika Selatan 24,3% disusul kebakaran 17,3%, perluasan kebun kedelai 5,6%, perluasan lahan jagung 3,1%. Sedangkan kontribusi sawit sekitar 2,3% merujuk data European Commision (2013).

Di Indonesia, perkembangan kelapa sawit tidak linier dengan kegiatan deforestasi. Data ini telah dilansir dari Jean Marc Roda, Peneliti CIFOR.

Keenam, kelapa sawit selalu dituding sebagai penyebab penurunan keanekaragaman hayati. Namun, tudingan ini tidaklah tepat karena sawit dapat juga meningkatkan keanekaragaman hayati seperti populasi burung, insektisida

Sementara itu, Sadino, pakar hukum kehutanan menyatakan bahwa regulasi di kehutanan sudah salah kaprah. Banyak hal yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan undang-undang (UU). Meskipun sudah diatur dalam UU, tapi masih saja timbul multitafsir.

“Karena konteks kehutanan adalah administrative law, maka ini perlu diperhatikan. Dalam konteks mengatur pidana sejak awal ada kekeliruan, dan itu dilanjutkan dalam regulasi saat ini. Meskipun sudah diatur dalam UU, tapi itu masih multitafsir,” ujar Sadino.

Sadino menyebut definisi hutan dalam undang-undang berbeda-beda. Padahal itu merupakan hal fundamental yang harus kuat. Soal legalitas perkebunan sawit, Sandino menegaskan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa sawit ilegal, merujuk pada peraturan masing-masing daerah.

Tiap daerah, katanya, memiliki peraturan yang berbeda dalam kasus perkebunan sawit ini. “Kalau menurut teman-teman kehutanan ilegal, tapi menurut orang lain, pemerintah daerah, belum tentu ilegal,” ujar Sadino.

Sandino mencontohkan, di daerah Kalimantan Tengah, perkebunan sawit tenang-tenang saja, tidak dilarang oleh pemerintah, asalkan perizinannya benar. “Teman-teman di Kalimantan Tengah aman saja, karena (mereka) mengerti hukum, karena input (masukan) dari saya juga,” terang Sadino.

Di akhir pemaparannya, Yanto menjelaskan bahwa jika kelapa sawit menjadi tanaman hutan, maka luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis, sekitar 16,2 juta hektare. Kemudian, ada peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan.

Pun nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan yang terdegradasi semakin tinggi. Kemudian, penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi relatif lebih mudah.

DR Gulat manurung selaku Ketua Umum dewan pengurus pusat  Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia(APKASINDO) menuturkan petani kelapa sawit yang menggantungkan harapannya terhadap kelapa sawit untuk menghidupi keluarga sangat miris atas ketidak pastian selama ini yang mana perihal ketidak pastian yaitu pada eksisting tanaman kelapa sawit supaya dapat bertahan memperoleh pembinaan atau penetapan sebagai tanaman perkebunan atau tanaman pertanian menjadi perhatian Pemerintah Republik Indonesia seperti para petani lainnya.

“secara eksisting kelapa sawit yang ditanam sekarang dapat diselesaikan melalui Undang Undang Cipta kerja yang sudah ada,” jelasnya.

Kemudian sebagai pertanyaan apakah Undang Undang Cipta kerja dapat menyelesaikan hal ini sebagaimana dengan denda yang nilainya besar maka diperkirakan dapat terselesaikan hanya sekitar 30 persen dan 70 persen lagi akan terrsendat sendat penyelesaiannya, Urainya

Menurut Gulat, ApKasindo meminta serta merangkul universitas Pertanian Bogor (IPB) agar melakukan kajian, apakah secara ilmiah atau akademis untuk tanaman kelapa sawit dapat digolongkan dalam kelompok tanaman hutan atau tumbuhan hutan sehingga kajian ini dapat disampaikan kekomisi empat DPR-RI untuk dibahas dan agar lembaga yudikatif ini akan memihak kepada Rakyat Indonesia seutuhnya karena masyarakat petani kelapa sawit adalah Rakyat Indonesia, dapat dinyatakan bahwa kelapa sawit penyokong fenomena Indonesia selama 25 tahun yang lalu..

Sehingga dapat mempercepat penyelesaiannya melalui Undang Undang Cipta kerja yang bebannya berkurang karena pada Undang Undang tersebut mayoritas kelapa sawit didalam kawasan hutan atau kelompok tumbuhan hutan sehingga kelapa sawit yang ditanam petani diklaim dalam kawasan hutan.

“Dan menyatakan hal ini sepihak yang mana seharusnya mempelajari sejarah , bila dikatakan bahwa kawasan hutan seharusnya ditunjuk, melalui proses yaitu setelah ditunjuk kemudian tapal batas serta berita acara apakah ada yang protes, Dan apakah mekanismenya sudah dilakukan? Jika belum dilakukan ltidak sepihak menjustice bahwa kelapa sawit kawasan hutan,” Jelasnya.

Selanjutnya bila tidak adanya kepastian dari presiden Republik se bagai orang nomor satu di NKRI ,maka para petani Indonesia sekitar 21 juta orang akan marah dan jika mereka turun kejalandalam bentuk demonstrasi turun kejalan suasananya akan dahsyat sehingga pemerintah juga akan repot.

“Bila dilihat di negara lain didunia para petani mereka dilindungi oleh Negaranya seperti di Negara Malasya dan Jepang. Bukan seperti negara kita para petani kelapa sawit kesannya dianak tirikan dari petani lainnya,” tegas Dr Gulat M

Menurut Petrus Gunarso, kedepannya akan dilakukan pertemuan berikutnya dalam memberikan pemahaman dan penyampaian kepada masyarakat agar lebih luas memahami apa itu mengenai isu isu perubahan iklim yang belum dipahami demikian dengan topik lainnya seperti topik legal, produk kelapa sawit yang berguna bagi dunia dan tidak hanya di Indonesia serta lainya dengan event debat publik terbuka seperti ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini