Direktur Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (Politeknik CWE), Nugroho Kristono mengungkapkan, sebagian besar lulusan kampus, khususnya Politeknik CWE lebih banyak memilih bekerja di perusahaan besar, alih-alih kembali ke kebun keluarga mereka.
Hal itu dia sampaikan pada acara Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT, di Jakarta, Jumat (1/11).
Nugroho menjelaskan, sasaran utama program beasiswa dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) adalah untuk mendidik putra-putri petani sawit.
Dari lulusan beasiswa ini diharapkan kembali ke kebun keluarga dan meningkatkan produktivitas. Pasalnya, produktivitas kebun rakyat masih jauh tertinggal dibanding perusahaan besar.
“Ya, itu sekarang sudah berjalan. Tetapi setelah lulus, saat ini sebagian besar masih diserap oleh perusahaan-perusahaan. Belum kembali ke kebun keluarganya, ke Gapoktanya, ke KUD-nya, asosiasinya, dan lain-lain. Ini adalah tantangannya,” kata dia.
Diketahui, Politeknik CWE merupakan pelopor dalam melaksanakan program beasiswa yang diselenggarakan oleh Dirjenbun dan BPDPKS, bersama dua kampus lainnya, yaitu Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) dan Politeknik LPP pada tahun 2016.
Hingga kini, alumni dari Politeknik CWE mencapai hampir 2.000 mahasiswa yang telah berkarir di industri kelapa sawit di seluruh nusantara, termasuk yang telah melanglang buana ke Malaysia dan Papua New Guinea.
“Karir mereka yang menekuni di industri sawit sudah sampai level manager itu sudah ada, sudah cukup banyak. Nah, tentunya ini menjadi satu harapan bersama,” kata dia.
Selain lulusan yang lebih memilih bekerja di perusahaan besar, dia juga menyoroti kurangnya tenaga pendampingan untuk penyuluh dan petani. Meski beberapa alumni telah berkarir sebagai ASN di Dinas Perkebunan, jumlahnya masih terbatas.
Hal ini mengakibatkan dukungan untuk Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pengembangan kebun keluarga, dan kelembagaan petani belum optimal.
“Jadi, masih ada pekerjaan rumah banyak yang harus kita semakin perbaiki link-nya, supaya benang merahnya nyambung. Nanti semakin melenceng, semakin jauh ya kita judul dipesankan,” kata dia.
Dia juga mencatat pentingnya pendampingan bagi para petani sawit untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kebun mereka. Saat ini, ada sekitar 11 lembaga pelatihan yang membantu petani dalam program Ditjenbun.
Namun, jumlah ini dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan yang terus bertambah. Nugroho berharap lebih banyak lembaga pelatihan turut berpartisipasi, sehingga seluruh petani sawit di Indonesia mendapatkan pelatihan agronomis yang memadai.
“Dukungan yang lebih terstruktur dari pemerintah sangat dibutuhkan agar pendidikan dan pelatihan untuk petani sawit bisa optimal. Jika SDM sawit kita baik, produktivitasnya akan meningkat, dan akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan petani serta keberlanjutan industri sawit Indonesia,” pungkas Nugroho.