Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menegaskan tidak mungkin perusahaan perkebunan sawit membakar kebunnya dengan sengaja. Sebab, tanaman sawit merupakan aset paling berharga bagi perusahaan, yang merupakan mesin produksinya. Selain itu, juga akan memperburuk citra sawit dimata internasional.
Menurut Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria GAPKI Eddy Martono, pihaknya selama ini berkomitmen pada zero burning policy atau kebijakan pembangunan kebun tanpa pembakaran. Pertimbangannya, selain aspek lingkungan juga untuk membangun citra sawit di mata internasional.
“Perusahaan sawit tak mungkin membakar kebunnya, kebun merupakan aset yang paling berharga yang merupakan bagian dari mesin produksi. Jika dibakar artinya tak akan ada produksi lagi,” kata Eddy Martono, Rabu, 11/9/2019.
Untuk itu, Eddy meminta semua pihak obyektif dalam melihat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus menerus terjadi di Indonesia. Jangan sampai komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia dan berkontribusi pemasukan devisa sebesar US$ 20 miliar per tahun itu justru menjadi korban.
Apalagi menurut hitungan Eddy, dalam membuka lahan sawit dengan cara mekanisasi biayanya sekitar Rp 6 juta per hektare, hanya sekitar sepuluh persen dari investasi yang dikeluarkan dari awal menanam sampai panen sekitar Rp 60 juta-Rp 70 juta per hektare.
“Secara logikanya mana ada perusahaan yang memilih berhemat Rp 6 juta per hektare dengan risiko yang begitu besar. Karena kalau artinya ketahuan membakar maka izin bisa dicabut dan denda yang begitu besar bukan puluhan milliar tapi ratusan milliar rupiah siap menanti. Apa benar ada perusahaan sawit yang sekonyol itu?” jelasnya.
Eddy mengakui, kebakaran perkebunan sawit bisa saja terjadi pada saat cuaca yang sangat panas dengan angin kencang seperti sekarang ini. Biasanya, itu terjadi karena semak-semak atau hutan yang ada disekitar konsesi terbakar sehingga merembet ke kebun sawit.
Untuk mengantisipasinya, GAPKI telah melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dan masyarakat sekitar kebun untuk menjaganya.
“Yang terjadi selama ini perusahaan perkebunan sawit menfasilitasi pemda dan masayarakat sekitar untuk mencegah karhutla dengan berbagai peralatan dan sarana pendukung lainnya,” jelasnya.
Jika melihat perjuangan perusahaan sawit, Eddy menyesalkan, adanya perusahaan perkebunan sawit yang menjadi tersangka dalam kasus karhutla. Padahal, bisa saja mereka sebenarnya korban kebakaran. Dan bukan pelaku yang sebenarnya.
Eddy mengajak semua pihak turut mengecek. Apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah karhutla ini terjadi di lahan kosong yang belum ditanami sawit atau di lahan yang sudah ada tanaman sawitnya. Apakah benar perusahaan tersebut membuka lahannya dengan membakar atau hanya terkena rembetan api yang membakar area konsesinya.
“Perlu obyektifitas dalam penanganannya. “Jangan sampai, korban kebakaran tetapi justru menjadi tersangka,” tegas Eddy.
Eddy menilai, adanya perusahaan perkebunan sawit yang menjadi tersangka kebakaran lahan berdampak kerugian ganda. Selain sebagian lahan kebun sawit yang mereka kelola turut terbakar, stigma negatif atas pelaku pembakaran yang sering ditujukan kepada pelaku usaha mempersulit anggota GAPKI berbisnis dengan pembeli di luar negeri.
“Bahkan bisa menjadi bahan kampanye negatif negara-negara pesaing sawit. Ini kerugian paling besar yang diderita karena muncul tuduhan kepada perusahaan sawit sebagai penyebab utama kebakaran. Padahal kami sudah mencegah dan berusaha membantu memadamkan kebakaran. Investasi besar sudah dikeluarkan untuk memenuhi SOP penanganan dan peralatan kebakaran,” jelas Eddy.
Apalagi selama ini anggota GAPKI sudah lama menerapkan standar zero burning sesuai amanat Undang-Undang. Namun, jika ada anggota Gapki yang tidak memenuhi ketentuan zero burning, maka hal tersebut hanya akan merugikan bisnis dari perusahaan yang bersangkutan. Pasalnya tuntutan zero burning makin menguat sejalan dengan permintaan pasar.
“Terutama dari buyer internasional. Selama ini perusahaan yang terkena dampak kebakaran harus berusaha memadamkan, baik dengan kekuatan sendiri atau bantuan pihak lain. Seharusnya aksi perusahaan-perusahaan ini diapresiasi, bukan malah dihukum,” tegasnya.
Selain itu, GAPKI meminta pemerintah membantu mengedukasi masayarakat tentang bahayanya membuka lahan dengan membakar, meski hal itu diperbolehkan oleh Undang-Undang (UU).
Untuk itu, GAPKI mengusulkan agar pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama Pasal 69 ayat 2 dan Pasal 88.
Dalam penangganan karhutla, Eddy berharap, pemerintah tidak menggunakan konsep strict liability atau “bertanggung jawab mutlak” dalam gugatan pada korporasi untuk mewakili negara. Yang dimaksud dengan strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
“Jika pasal ini yang digunakan, tentu akan merugikan investasi yang tanamkan di perkebunan sawit. Dianggap bersalah tetapi tak perlu dibuktikan,” uarai Eddy.
Selanjutnya dalam Pasal 69 ayat 2, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luasan maksimal 2 hektare.
Pakar hukum kehutanan Dr Sadino meminta, pemerintah dan aparat penegak hukum berhati-hati dalam menetapkan tersangka terhadap perusahaan kelapa sawit yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan.
“Harus hati-hati dan adil. Jangan terlalu mudah menetapkan tersangka kepada perusahaan atau korporasi, apalagi sampai di segel dengan membekukan usahanya. Ini justru menjadi kontraproduktif dan mempengaruhi iklim usaha. Apalagi pemerintah sedang berupaya meningkatkan investasi,” jelas Sadino.
Selain itu, lanjutnya, jika perusahaan sawit terus-terusan dijadikan tersangka, bisa mengakibatkan dampak ikutan yang luar biasa. Misalnya, minat investasi turun, PHK besar-besaran, dan yang utama akan menghilangkan potensi devisa dari ekspor produk sawit dan turunannya.
“Di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini pemerintah tengah berusaha sekuat tenaga menggenjot devisa, dan menahan laju PHK yang banyak terjadi di industri manufaktur,” ungkapnya.
Menurut Sadino, penetapan tersangka ke perusahaan sawit dan hutan tanaman industri oleh aparat penegak hukum jangan sekadar mencari mudahnya. Dia tidak percaya jika perusahaan hutan tanaman industri ataupun kebun kelapa sawit sengaja melakukan pembakaran lahan.
“Kalau ada perusahaan yang berani melakukan pembakaran itu orang gila. Tanaman adalah aset paling berharga mereka, bahkan lebih dari 80 persennya.”
Dengan sengaja membakar tentu besar resikonya. Karena apabila dilakukan, dia akan menanggung risiko pidana baik kurungan badan maupun denda.
Untuk itu, Sadino meminta, pemerintah dan penegak hukum merubah mindset yang jika terjadi kebakaran lahan perusahaan sawitlah penyebabnya.
“Perusahaan sawit selalu menjadi korban kasus kerhutla. Karena itu, pemerintah harus menerapkan pembuktian menyeluruh sebelum menetapkan sejumlah perusahaan sawit menjadi tersangka kasus kebakaran lahan. Kebakaran lahan dan hutan ini merugikan semua pihak. Ini yang harus disadari,” katanya.
Menurut Sadino, karhutla biasanya disebabkan akumulasi sejumlah faktor. Mulai dari regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara dibakar, masalah dalam tata kelola hutan negara, serta dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan.
“Yang utama adalah bagaimana memperbaiki tata kelola hutan yang selama ini belum maksimal,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Medali Emas Manurung. Menurutnya, pemerintah dan aparat penegak hukum optimal dalam menyikapi karhutla yang terjadi di Indonesia, terutama Riau dan beberapa Provinsi lainnya.
Sebab, lanjut Gulat, selama ini jika terjadi kebakaran hutan dan lahan, hampir dipastikan kebun sawit dianggap sebagai penyebabnya.
“Ada sebenarnya yang mengganjal dan kurang adil. Pada akhirnya menjadi tanda tanya besar terkait karhutla, jika ada kebakaran lahan identik dengan kebun kelapa sawit. Dengan berbagai variasi tuduhan. Ada yang bilang, perusahaan membakar, kemudian dalam versi yang lain, yang membakar itu petani sawit saat membuka lahan. Dan versi ketiganya, itu dibakar. Dan kalau tuduhannya menggunakan versi ketiga pada lahan yang sudah ada tanaman sawit, jelas gak mungkin. Logika sajalah, siapa sih yang mau membakar kebun atau pabrik uangnya sendiri?” tanya Gulat.
Lalu kalau yang terbakar itu hutan belantara, tentu patut diduga ada oknum yang bermain sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Ini sengaja dibakar untuk tujuan ingin membuat gaduh,” jelasnya.
Apalagi disaat Pemerintah sibuk menyelesaikan masalah Papua, Kemenko Perekonomian sibuk berpacu membahas Draft Perpres ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) maka disaat bersamaan muncul rentetan peristiwa lainnya yang seperti gayung bersambut.
“Bisa saja kegaduhan akibat asap ini dibuat oleh oknum tertentu untuk menarik perhatian dunia bahwa ada masalah dengan sawit Indonesia,” ujar Gulat.
Gulat yakin, dengan adanya regulasi yang ketat dan keras memuat ketentuan tentang dampak hukum bagi pembakar lahan (segaja atau tidak sengaja), maka akan berpikir seribu kali jika ada aktivitas membakar untuk budidaya perkebunan sawit.
“Kalau kita lihat beratnya hukuman bagi pembakar lahan, saya yakin tidak akan ada orang yang mau main-main atau berani membakar lahan. Lalu kok bisa terjadi kebakaran?, urainya.
Ia mengusulkan, ini yang harus dikaji Tim Gakkum Kehutanan dan Kementan, apakah dengan sengaja membakar atau terbakar akibat ketidaksengajaan.
“Jika dengan sengaja membakar, Saya yakin tujuannya bukan untuk aktivitas perkebunan kelapa sawit, tapi ada niat lain. Karena dampak dari asap ini sangat banyak, terutama untuk aspek kesehatan,” jelasnya.
Gulat menyarankan kepada Aparat Gakkum Kehutanan, untuk merubah mindset tentang kebakaran lahan yang selalu dikaitannya dengan perkebunan sawit.
“Coba kita berpikir dari sudut pandang berbeda yaitu sengaja dibakar untuk tujuan politik lingkungan (environmental politics), ” pungkas Gulat. ***