GPPI Ungkap Tantangan dan Peluang Besar dalam Industri Sawit

0
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), Delima Hasri Azahari menyampaikan paparanya di acara Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) di Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2024. Foto: Majalah Hortus

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), Delima Hasri Azahari menyoroti berbagai tantangan utama yang dihadapi oleh industri sawit Indonesia, dari masalah rantai pasok hingga produktivitas yang masih rendah.

Salah satu tantangan besar disebutkan Delima adalah masalah rantai pasok. Sekitar 42 persen dari total lahan sawit, yang mencapai 16,4 juta hektare, dikelola oleh petani yang menghadapi kesulitan dalam akses ke pendanaan, hasil riset, dan benih yang legal. Delima menjelaskan.

“Kita tahu bahwa petani uang tadi itu jumlahnya sekitar 42 persen lahannya itu menghadapi masalah untuk akses ke pendanaan, akses ke hasil-hasil riset, akses kepada benih yang legal,” kata Delima dalam paparanya di acara Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) di Jakarta, Selasa (13/8).

Produktivitas sawit di Indonesia juga menjadi perhatian. Saat ini, rata-rata produktivitas sawit hanya sekitar 3 hingga 3,5 ton per hektare, padahal potensi maksimalnya bisa mencapai 8 ton per hektare.

“Produktivitas kita masih rendah Kalau dibandingkan dengan Potential productivity dari sawit yang bisa mencapai 8 ton per hektare. Kita baru di rata-rata 3 ton, 3,5 ton per hektare,” kata Delima.

Selain itu, banyak petani sawit menghadapi tantangan dalam hal infrastruktur pengolahan. Banyak dari mereka tidak memiliki akses atau fasilitas untuk mendirikan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) mereka sendiri.

“Ini juga Bapak nih mohon dibantu juga kalau para petani kita pengen mendirikan sendiri pabrik kelana sawit sendiri (PKS),” ujar Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.

Selanjutnya, dalam hal sawit berkelanjutan, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan sistem perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sejak 2007. Namun, meskipun penerapan sertifikasi ISPO kini sudah menjadi mandatori sejak tahun 2024, masih ada tantangan yang harus diatasi.

“Untuk perusahaan-perusahan besar dan BUMN, sertifikasi ISPO sudah diterapkan. Namun, tantangan utama masih terkait dengan penerapan sistem ini di kalangan petani kecil, yang sering kali menghadapi kesulitan dalam memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan,” kata dia.

Selanjutnya, tantangan besar lainnya adalah kebutuhan untuk traceability atau ketelusuran. Indonesia dituntut untuk memastikan bahwa asal usul sawit dapat dilacak dengan jelas.

Di sisi hilir, sambung Delima, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam mengembangkan produk-produk hilir sawit.

“Kalau kita lihat negara tetangga kita mereka sudah mengembangkan hilirisasi ini sampai ratusan produk hilirisasinya. Kita sendiri masih ketinggalan, kalau Malaysia sudah tiga ratusan, kita baru seratusan. Jadi masih banyak kesempatan untuk research-research kita di hilirisasi ini,” kata dia.

Terakhir, integrasi antara sektor hulu dan hilir juga menjadi tantangan. Delima menyatakan, “Kita perlu memastikan adanya integrasi antara apa yang dikerjakan di sektor hulu dengan apa yang diharapkan oleh pelaku usaha di sektor hilir,” ujar dia.

Peluang

Delima juga memaparkan proyeksi dan peluang di industri sawit dari tahun 2026 hingga 2040. Menurutnya, industri sawit masih memiliki potensi besar, baik di pasar nasional maupun internasional.

“Intinya dari session ini kami ingin menyampaikan dari outlook sawit 2026-2040 bahwa terbuka sekali kesempatan terutama sekali adalah Proyeksi daripada Bagaimana sih kebutuhan sawit ini baik secara nasional maupun secara internasional,” kata dia.

Menurut Delima, kebutuhan sawit di pasar global tetap tinggi. Dia memperingatkan bahwa jika Eropa memutuskan untuk berhenti mengimpor sawit, dampaknya akan sangat besar bagi industri mereka.

“Bayangkan kalau Uni Eropa mengatakan dia tidak mau import sawit kita, bagaimana  collapsnya industri mereka di sana. Jadi outlook kita jangan khawatir, sawit ini masih baik,” kata Delima.

Oleh karena itu, penting untuk terus memperbaiki citra sawit dan memastikan bahwa industri ini dikampanyekan sebagai produk yang berkelanjutan.

“Jadi, mari kita sama-sama memperbaiki dengan semangat untuk tetap kampanyekan sawit positif dan sawit berkelanjutan,” pungkas dia.

Selain itu, Delima menggarisbawahi perlunya perbaikan dalam tata kelola industri sawit. Target peremajaan sawit sebesar 180 ribu hektare per tahun belum tercapai sepenuhnya, dengan pencapaian hanya mencapai 30 persen.

“Kita harus lebih fokus pada pencapaian target peremajaan dan perbaikan tata kelola untuk memastikan keberlanjutan industri ini,” pungkas Delima.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini