Indonesia Perlu Belajar dari Brasil dan Thailand Soal Biodiesel

0
Tim peneliti Universitas Indonesia, Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc (kiri) dan Dr. Surjadi, SE., memaparkan hasil riset berjudul “Produksi Sawit, Dinamika Pasar serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” di Ruang Sumba, Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (17/10).

Implementasi kebijakan biodiesel di berbagai negara menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi domestik, ekspor, dan stabilitas harga.

Demikian disampaikan Tim peneliti Universitas Indonesia, Dr. Ir. Widyono Soetjipto saat memaparkan hasil penelitian berjudul “Produksi Sawit, Dinamika Pasar serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” di Ruang Sumba, Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (17/10).

Widyono menilai, pengalaman Malaysia, Brasil, dan Thailand dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam menerapkan mandatori biodiesel 50 persen (B50), yang direncanakan berlaku pada 2026.

Program biodiesel nasional Indonesia sendiri telah dimulai sejak 2006 melalui uji coba B2, sebagai respons atas kelangkaan energi fosil, fluktuasi harga minyak dunia, dan defisit neraca migas.

Tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan nilai tambah sawit nasional, menjamin keberlanjutan pasokan minyak sawit mentah (CPO), serta mendorong pendapatan petani dan pembangunan pedesaan.

“Hingga 2025 ini kita sudah berada pada tahap B40, dan pemerintah berencana meningkatkan ke B50 pada 2026. Namun, sebelum melangkah ke sana, penting untuk mempelajari bagaimana negara lain mengelola kebijakan serupa,” kata Widyono di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (17/10).

Menurutnya, Malaysia saat ini menerapkan B20, tetapi dengan cakupan yang terbatas. Pemerintah Negeri Jiran hanya memberikan subsidi di wilayah dan sektor tertentu, tidak menyeluruh seperti Indonesia.

“Jadi, Malaysia saat ini menerapkan B20, tetapi sifatnya agak terbatas. Dia memberikan subsidi secara terbatas dan hanya pada konsumen tertentu dan konsumen di wilayah tertentu saja,” ujarnya.

Sementara di Brasil, kebijakan biodiesel disesuaikan dengan harga minyak nabati, bukan dari kelapa sawit melainkan berbasis kedelai. Pemerintah Brasil menjadikan harga minyak nabati sebagai acuan utama dalam menentukan kadar campuran biodiesel.

“Kalau harga minyak nabatinya tinggi ya, persentase minyak nabatinya diturunkan dan juga sebaliknya,” ujarnya.

Berbeda dengan dua negara tersebut, Thailand justru mengacu pada harga minyak bumi. Bila harga solar turun, kadar campuran minyak nabati dikurangi untuk menghindari tekanan pada harga bahan bakar. Sebaliknya, ketika harga minyak fosil naik, kadar biodiesel dinaikkan untuk menekan impor energi.

“Dari tiga negara ini, ada pembelajaran penting dari kebijakan internasional, yaitu pentingnya fleksibilitas yang terukur untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan domestik, ekspor, dan stabilitas harga energi,” jelasnya.

Ia menambahkan, fleksibilitas kebijakan tersebut harus bersifat terukur dan didukung oleh data pasar yang akurat, real-time, teknologi monitoring yang sesuai kondisi lapangan, serta koordinasi yang baik antarsektor.

Indonesia saat ini merupakan produsen dan konsumen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 48,2 juta ton atau 54 persen dari pasokan global, serta luas areal perkebunan sekitar 16,8 juta hektare.

Namun, produksi 2025 diproyeksikan hanya mencapai 49,5 juta ton, sementara implementasi mandatori B50 menuntut peningkatan kapasitas produksi minyak sawit nasional sekitar 59 juta ton per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Simulasi menunjukkan, penerapan mandatori biodiesel B50 dapat menghasilkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp 172,35 triliun, namun berpotensi menekan ekspor CPO hingga Rp 190,5 triliun, angka yang justru lebih besar dari penghematan impor.

Kenaikan mandatori biodiesel dari B40 ke B50 juga berpotensi untuk meningkatkan harga minyak goreng domestik hingga 9 persen, dan mendorong harga Tandan Buah Segar (TBS) naik sekitar Rp 618 per kilogram.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini