Produksi daging Indonesia hanya 460.000 ton belum mampu mengimbangi kebutuhan daging konsumsi sebesar 730.000 ton. Defisit 270.000 ton dipenuhi dengan impor negara lain. Integrasi sawit sapi (SISKA) menjadi solusi pemenuhan kebutuhan daging yang terus berkembang pesat.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia) Joni Liano dalam Rapat Kerja Nasional Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (GAPENSISKA) di Bogor, Kamis, 22/12/22.
Menurut Joni, sejatinya defisit turun bukan berarti produksi menurun tetapi belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan daging. Pesatnya pertumbuhan kebutuhan daging masih sulit untuk dipenuhi dari produksi daging local.
“Pertumbuhan produksi daging masih rendah, belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging yang terus meningkat setiap tahunnya,” kata Joni.
Joni berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia diperlukan cara yang ekstrem, luar biasa. Salah satunya dengan cara integrasi sawit dengan sapi. Hal ini karena, luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai lebih 16 juta hektar mampu memberikan pakan yang berlimpah.
“Perlu cara ekstrem agar tercapai cita-cita swasembada daging. Integrasi sawit sai salah satunya. Luas kebun sawit yang mencapai 16 juta hektar, menyediakan pakan yang berlimpah,” katanya.
Joni mengakui, integrasi sawit sapi masih menghadapi berbagai kendala, diantara dari perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perlu political will yang kuat dalam mengembangkan integrasi sawit sapi.
“Sebagian besar perkebunan besar kelapa sawit belum sepenuhnya mendukung integrasi sawit sapi. Ketakutan akan Ganoderma menjadi alasan. Perlu political will,” jelasnya.
Menurut Joni, sebagian perkebunan kelapa sawit masih beranggapan sulitnya pasar.
“Padahal, kita masih deficit 38 persen daging sapi. Sehingga anggapan sulit mencari pasar kurang tepat. Gapuspindo siap menyerap semuanya,” jelas Joni.
Ketua Umum GAPENSISKA Joko Iriantono mengatakan, beberapa ahli memprediksi tahun depan dunia akan dilanda resesi, sehingga perlu menjaga ketahanan pangan. Indonesia cukup beruntung dengan memiliki komoditas kelapa sawit yang bisa menjadi modal yang baik.
“Perkebunan kelapa sawit yang luas, selain mampu menyedikan minyak makan dan produk turunan yang lain, bisa juga menjadi ladang pemgembalaan yang luas untuk sapi. SISKA menjadi solusi yang baik untuk turut menjaga ketahanan pangan dengan penyediaan daging yang berkualitas dan cepat,” kata Joko.
Menurut Joko, pengembangan SISKA secara bertahab terus dilakukan dengan bekerjasama dengan petani plasma dan swadaya di seluruh Indonesia.
“SISKA merupakan model peningkatan produksi daging sapi yang efektif. Kami berharap stakeholder ndustri perkebunan sawit dan peternakan bisa membantu peengembangan konsep konsep integrasi sawit sapi yang lebih maksimal,” katanya.
Irfani Darma dari Indonesia Australia Red Meat & Cattle Partnership menjelaskan, Partnership atau kerjasama antara Indonesia dan Australia untuk mendukung ketahanan pangan di sektor daging merah dan sapi, serta akses ke rantai pasok global melalui perdagangan dan lingkungan investasi.
“Partnership dimulai pada 2013 dan akan berlangsung hingga tahun 2023. Pendanaan senilai AUD $ 60 juta dari Pemerintah Australia dan kontribusi dari para mitra proyek,” kata Irfani.
Menurut Irfani, kerja sama ini perlu dikembangkan, tidak hanya government to government, tetapi juga busines to bussines, bahkan hingga people to people. Para praktisi yang bergerak di bidang peternakan perlu melakukan upaya strategis untuk membantu meningkatkan produktivitas sapi di Indonesia.
Pelatihan manajemen pakan sapi sangat relevan dan tepat untuk para praktisi atau pihak yang bertanggung jawab di bidang pakan dan feedlot. Oleh karena itu, pelatihan didesain sedemikian rupa untuk menemukan solusi praktis untuk meningkatkan kinerja produksi dan reproduksi melalui peningkatan manajemen pakan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pakan Kementerian Pertanian Nur Sapta Hidayat menjelaskan, sejatinya Indonesia juga memiliki ladanmg pengembalaan ternak sapi yang cukup luas lebih 16 juta hektar yang tertutupi oleh perkebunan kelapa sawit.
Menurut Nur Sapta, kunci dari peternakan sapi adalah soal efisiensi dalam pakan. Semua itu bisa dilakukan di perkebunan kelapa sawit yang menyediakan pakan berlimpah untuk sapi.
“Kalau setiap hektar kebun sawit dapat digunakan memelihara 1 ekor sapi, maka akan ada 16 juta ekor sapi. Ini sudah mampu memenuhi kebutuhan daging seluruh rakyat Indonesia,” kata Nur sapta.
Untuk itu, Nur Sapta berharap, SISKA bisa menjadi salah satu road map nasional pengembangan sapi nasional. Sehingga dalam waktu dekat Indonesia mampu berswasembada.
“Dengan pengembangan sapi yang efisen dan berkualitas maka swasembada daging nasional akan cepat tercapai,” pungkasnya.