Ketersediaan Bahan Baku Jadi Kunci Keberlanjutan Program Biodiesel

0
Head of Sustainability Division Aprobi, Rapolo Hutabarat (tengah) dan Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Rino Afrino pada acara Focus Group Discussion (FGD) Membangun Negeri, yang digelar sawitsetara.co, Jakarta, Kamis 18 Juli 2024. (Foto/Majalah Hortus)

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyoroti urgensi penanganan permasalahan di sektor hulu sawit sebagai kunci keberlanjutan program biodiesel.

Head of Sustainability Division Aprobi, Rapolo Hutabarat, menekankan pentingnya penyelesaian masalah di sektor ini karena menjadi penentu ketersediaan bahan baku.

“Permasalahan ini memang harus segera diselesaikan oleh negeri ini, terutama dari sisi hulu. Kita tahu bahwa banyak yang harus dikerjakan di sektor hulu, terutama karena inilah yang menentukan ada tidak bahan bakunya,” ujar Rapolo pada Focus Group Discussion (FGD) Membangun Negeri, yang digelar sawitsetara.co bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Jakarta, Kamis (18/7).

Menurut data yang disampaikan, luas lahan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 16,83 juta hektare, dengan sekitar 6,7 juta hektare dimiliki oleh petani.

Namun, produktivitas petani masih di bawah rata-rata, yakni kurang dari 3 ton minyak per hektare per tahun. Jauh berbeda dengan perusahaan swasta yang sudah bisa mencapai produksi 6-7 ton minyak per hektare per tahun.

“Sehingga yang 6,7 juta hektare ini, kalau bisa kita naikkan 2-3 ton aja per hektare. Jadi selama ini kita sudah membuang uang sebanyak ini, 13-20 juta ton per tahun kali 1.000 dolar per ton. Jadi memang ini harus segera diselesaikan,” kata ujar Rapolo.

Ketersediaan bahan baku yang mencukupi di sektor hulu sangat vital untuk memastikan keberlanjutan industri biofuel.

“Di sektor hulu itu harus dibenahi dulu. Sebab tanpa ini bisa diselesaikan maka akan terjadi kekurangan bahan baku baik untuk energi, pangan, farmasi, dan lain sebagainya,” ujar Rapolo.

Dalam pandangannya, keberhasilan penanganan permasalahan di hulu sawit akan membuka peluang besar bagi Indonesia. Dia menyebutkan bahwa dengan adanya bahan baku yang cukup, industri akan berkembang, investasi akan meningkat, jumlah tenaga kerja akan bertambah, dan nilai tambahnya pun akan dinikmati di dalam negeri.

Rapolo juga menyoroti pentingnya keberlanjutan program blending biofuel, seperti B40 dan kemungkinan peningkatan lebih lanjut ke B45 atau B50. Menurutnya, keberhasilan program-program ini sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku di sektor hulu.

“Pandangan kami dari Aprobi bahwa bahan baku itu menjadi salah satu kunci untuk dilakukan hilirisasi, baik dari sisi hilirisasi pangan, energi, dan kebutuhan lainnya untuk oleokimia,” ujar Rapolo.

Aprobi berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan di sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai cita-cita besar dalam industri sawit, termasuk target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.

Rapolo mencatat, beberapa langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi kelapa sawit oleh petani. Pertama, petani harus memperoleh bibit bersertifikat dengan harga terjangkau.

“Di negeri kita ini ada beberapa perusahaan yang memiliki konsorsium bibit resmi. Harga bibit itu tentu harus murah,” jelas Rapolo.

Kedua, Rapolo menyarankan agar petani memperoleh pupuk bersubsidi dan mendapatkan edukasi mengenai cara bertani kelapa sawit yang baik.

“Saya kira Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) unya peran besar untuk menyosialisasikan cara bertani sawit yang baik,” pungkas Rapolo.

Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Rino Afrino, menambahkan perspektifnya tentang tantangan di sektor hulu sawit.

“Sebenarnya itu kan teka-teki, kalau Anda ingin B40 atau Anda ingin B50 berarti Anda butuh bahan baku lebih banyak. Itu matematika seperti itu,” ujar Rino.

Rino juga menyoroti isu legalitas lahan sebagai tantangan utama dalam meningkatkan produktivitas.

“Hari ini ada 3,4 juta hektare sawit yang tervonis dalam kawasan hutan, yang terancam akan hilang. Berapa devisanya? Berapa kebutuhan yang hilang? Dengan yang sekarang saja yang 47 juta ton kurang lebih itu sudah termasuk yang 3,3 juta tadi. Jadi di sinilah pemerintah harus melihat jika mereka sudah sepakat positif tadi kita sudah bicarakan sudah terjadi, perbaikan sosial, ekonomi, lingkungan serta negara terselamatkan rakyat perdagangannya,” ujar dia.

Rino menekankan perlunya peningkatan produktivitas melalui langkah-langkah pembenahan sektor hulu. “Pertama, legalitas. Kedua, tadi disorot bagaimana PSR dari 2,4 juta hektare ternyata baru 390 ribu, tidak sampai 10 persen,” ujar dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini