LSP-PHI Gelar Witness Uji Kompetensi 9 Skema Okupasi

0

Witness atau Penyaksian Uji Kompetensi Penambahan Lingkup LSP P3 diselenggarakan Lembaga Sertifikasi Profesi Perkebunan dan Hortikultura (LSP-PHI) di Kampus Politeknik Kelapa sawit Citra Widya Edukasi, Bekasi. Acara ini disaksikan langsung oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Ketua Dewan Pengarah LSP-PHI, Achmad Mangga Barani mengatakan, dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.237 Tahun 2019 tentang SKKNI Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Keputusan Menteri Pertanian No. 410 Tahun 2020 tentang KKNI Kelapa Sawit Berkelanjutan serta Permentan No. 38 Tahun 2020 tentang ISPO, maka SDM yang terlibat dalam industri kelapa sawit perlu mendapat legitimasi kompetensi.

“Legitimasi untuk berbagai okupasi/jabatan dalam pengelolaan industri kelapa sawit berkelanjutan, dan bahkan untuk jabatan auditor ISPO sudah merupakan ‘mandatory’ atau wajib sertifikasi, sabagaimana juga sebelumnya telah juga diwajibkan untuk badan usaha/pelaku usaha di industri kelapa sawit itu sendiri,” kata Mangga Barani dalam pembukaan acara di Kampus Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi, Bekasi, baru-baru ini.

Menurut Mangga Barani, untuk perusahaan maupun untuk auditor yang melakukan audit di perusahaan sesuai peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2020 wajib disertifikasi, dan besar kemungkinan pada gilirannya juga akan diwajibkan untuk semua jabatan /okupasi dalam  struktur pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.

“Dengan terlaksananya uji kompetensi yang dipersaksikan oleh BNSP untuk 9 skema pada hari ini, merupakan awal dari dimulainya sertifikasi SDM kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia dan tentu saja secara langsung akan mendukung terwujudnya daya saing industri kelapa sawit Indonesia di tingkat global,” kata Mangga Barani.

Dia menambahkan, pelaksanaan uji kompetensi yang dipersaksikan (witness) oleh BNSP ini adalah untuk 9 skema okupasi kelapa sawit berkelanjutan dari 31 skema yang ada.

Direktur Utama LSP-PHI, Darmansyah Basyarudin menambahkan, uji kompetensi yang dipersaksikan oleh BNSP ini merupakan rangkaian terakhir dari proses penambahan dan perubahan ruang lingkup 9 skema sertiifikasi untuk kelapa sawit berkelanjutan yang telah diajukan kepada BNSP, beberapa waktu yang lalu.

“Di antaranya adalah: Skema Sertifikasi Okupasi Manajer Kebun, Skema Sertifikasi Okupasi Asisten Manajer, Skema Sertifikasi Okupasi Asisten Kebun, Skema Sertifikasi Okupasi Mandor Besar, Skema Sertifikasi Okupasi Auditor, Skema Sertifikasi Okupasi Asisten Pengolahan, Skema Sertifikasi Okupasi Pelaksana Penangkar Benih Kelapa Sawit, Skema Sertifikasi Okupasi Manajer Penangkaran Benih Kelapa Sawit, Skema Sertifikasi Okupasi Pengawas Penangkaran Benih Kelapa Sawit,” paparnya.

Menurut Darmansyah, di era globalisasi juga ditandai dengan arus keluar masuknya tenaga kerja terampil dan arus investasi ke dalam dan keluar negara. Untuk memenangkan persaingan diperlukan upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia umumnya dan para professional khususnya.

Kompetensi tenaga kerja dapat dikembangkan dan ditingkatkan melalui suatu pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kompetensinya.

“Namun kompetensi tersebut memerlukan pengakuan agar dapat menjadi acuan bagi rekrutmen, remunerasi, promosi dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pencapaian visi, misi dan tujuan perusahaan,” katanya.

Selanjutnya untuk, proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional dan/atau standar khusus.

“Rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.

Investasi Jangka Panjang

Direktur Perbenihan Perkebunan, Ditjen Perkebunan, M Saleh Mukhtar menyatakan, SDM yang memiliki kompetensi tinggi merupakan investasi jangka panjang. Untuk itu, perlu dipersiapkan secara baik agar mampu bersaing di era globalisasi.

“Saat ini, industri sawit tanah air telah menguasai pangsa pasar dunia, agar mampu mempertahankan dan memiliki daya saing maka perlu SDM yang handal dan memiliki kompetensi agar mampu bersaing di era global,” kata Saleh.

Saleh berharap, SDM Indonesia terus berbenah untuk memperkuat kepentingan nasional. Apalagi sekarang banyak negara yng ingin turut serta membudidayakan sawit,” ujarnya.

Menurut Saleh, sawit Indonesia akan kuat jika didukung oleh SDM yang handal yang bersertifikat, dalam rangka meningkatkan daya saing sawit nasional.

Saat ini, lanjutnya, India dan Honduras merupakan bagian negara yang ingin turut serta mengembangkan sawit di negaranya. Bahkan, saat ini sudah banyak yang meminta benih sawit untuk negaranya.

“India dan Honduras sudah ingin menanam sawit di negaranya, bahkan India mengajukan permintaan atau impor benih sebanyak 11 juta kecambah,” kata Saleh.

Secara pribadi, Saleh merasa tak kebaratan dengan adanya ekspor benih tersebut, apalagi kapasitas produksi benih sawit Indonesia mencapai kurang lebih 200 juta kecambah. Masalahnya, harus dihitung dan dipertimbangkan masak-masak, apakah ada efek negatif jika mengekspor benih ke negara lain.

“Secara ekonomi bagus, ekspor benih bisa menambah serapan produksi bibit yang mencapai kurang lebih 200 juta kecambah, sementara untuk kebutuhan dalam negeri baru sekitar 100 jutaan,” paparnya.

Sementara itu Wakil Kepala BNSP, Miftahul Aziz mengutarakan, sertifikat kompetensi sangat penting artinya bagi pekerja Indonesia. Karena merupakan acuan dalam menentukan kompetensi pekerja. Proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan adalah, secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional.

Azis mencontohkan, kenapa diperlukan sertifikat kompetensi kerja. Di perkebunan kelapa sawit Malaysia, seorang mandor atau asisten jika tidak memiliki sertifikat kompetensi maka hanya akan dibayar seperti halnya tenaga umum dengan bayaran kecil tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan.

“Perlu diantisipasi jangan sampai tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia tidak dihargai karena tidak memiliki sertifikat. Bayangkan seorang yang memiliki kompetensi mandor atau asisten, tanpa sertifikat hanya akan dihargai atau digaji sebagai karyawan biasa,” kata Azis.

Untuk itu, dia berpesan agar semua tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri memiliki sertifikat kompetensi.

“Semua pekerja migran yg keluar perlu sertifikasi sebab jika tanpa itu masuk ke general worker yang nilai gajinya lebih kecil,” jelasnya.

Sementara Direktur Politeknik Kelapa Sawit CWE, Stephanus Nugroho Kristono mengatakan, di masa mendatang, kebutuhan SDM untuk perkebunan kelapa sawit yang kompeten sangat mendesak. Sebab, semakin banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kerap butuh tenaga terampil dan terdidik dan tangguh.

“Ribuan tenaga kerja itu antara lain akan mengisi berbagai posisi seperti general manajer, manajer kebun, manajer pabrik, asisten kepala, kepala tata usaha, asisten kebun, asisten pabrik, asisten traksi, pengukuran dan alat berat, asisten hama dan penyakit, serta mandor kebun,” kata Nugroho.

Dan kesemuanya itu, lanjutnya, memerlukan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi profesi yang dikeluarkan oleh BNSP. ***SH

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini