Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bolehlah merasa lega dan bangga. Pasalnya, perhelatan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024 and 2025 Price Outlook (IPOC) 2024 dalam evaluasi Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, telah menjadi platform yang kuat bagi para pelaku industri sawit di dalam dan luar negeri.
Pada forum itu, mereka dan stakeholder lainnya bertemu dan membahas berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit.
Gambaran seperti itu, lanjut Eddy, setidak-tidaknya tercermin dari meningkatnya jumlah peserta serta jumlah dukungan yang telah menjadi penanda signifkan. Oleh sebab itu, dia mengaku happy melihat antusiasme terhadap konferensi IPOC kali ini.
Pembaca majalah ini yang kami banggakan, penyelenggaraan konferensi sawit skala internasional yang dihelat oleh Gapki di Nusa Dua, Bali, pada 7-8 November 2024 tersebut, kami kupas dalam Rubrik Liputan Khusus Majalah HORTUS Archipelago edisi kali ini.
Pernyataan yang disampaikan Eddy tersebut, ternyata juga diamini oleh Ketua Pelaksana IPOC 2024, Mona Surya yang juga merupakan Bendahara Gapki. Kata dia, Indonesia Palm Oil Conference (IPOC ) ke-20 di Nusa Dua, Bali, menjadi magnet yang kuat bagi para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit . Bahkan, lanjutnya, pelaksanaan IPOC kali ini telah mencetak rekor baru dalam hal jumlah peserta.
“IPOC 2024 mencatatkan peningkatan nilai sponsor sebanyak 16% dan melibatkan 37 perusahaan, 113 stan, dan 1.509 partisipan yang berasal dari 24 negara, mencetak rekor baru dalam hal jumlah peserta,” ungkap Mona dalam opening ceremony IPOC 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis, 7 November 2024.
Mona menambahkan, tingginya minat peserta tak lepas dari pelaksanaan IPOC yang terus menghadirkan agenda dan topik yang menarik dan relevan bagi industri kelapa sawit di Indonesia. Ajang ini, juga menjadi wadah yang tepat untuk memperluas jejaring.
Pembaca sekalian yang kami hormati,
Untuk Rubrik Laporan Utama, kami angkat tema rencana pemerintah untuk mengaplikasikan Program B40 pada awal 2025. Rencana tersebut, tampaknya bakal berjalan mulus. Pangkal soalnya, dana yang dibutuhkan untuk mendanai BBM dengan campuran bahan bakar komposisi 40 persen minyak kelapa sawit dan 60 persen solar (B40) tersebut, tersedia dalam jumlah mencukupi.
Menurut kalkulasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), untuk dapat merealisasikan bahan bakar ramah lingkungan jenis B40 pada tahun 2025 dibutuhkan dana sebesar Rp47 triliun. Kebutuhan dana tersebut berdasarkan asumsi harga metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) atau biodiesel lebih tinggi daripada harga solar.
BPDPKS pada akhir tahun 2024 memiliki saldo sebesar Rp32 triliun, sementara pendapatan dari pungutan ekspor CPO pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai Rp21,5 triliun. Sehingga apabila diakumulasikan maka saldo yang dimiliki BPDPKS mencapai Rp53,5 triliun, sementara taksiran kebutuhan dana untuk dukung B40 sekitar Rp47 triliun.
Dari sisi kebutuhan CPO untuk diolah menjadi biodiesel (B40) sejauh ini sepertinya juga tak ada masalah. Berdasarkan data Gapki, program B35 hanya membutuhkan 10,64 juta ton CPO. Jika naik menjadi B40 maka kebutuhan CPO untuk program ini turut naik menjadi 14 juta ton. Sementara produksi CPO Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun.
Dari produksi CPO sekitar 50 juta ton tahun 2023, volume CPO yang diekspor ke mancanegara mencapai sekitar 32 juta ton (senilai US$30,32 miliar). Sedangkan sisanya yang 18 juta ton CPO antara lain dimanfaatkan untuk bahan baku minyak goreng, pabrik oleokimia dan pabrik biodiesel di dalam negeri.
Di luar kedua rubrik andalan tersebut, seperti biasa kami juga menyajikan berita atau tulisan yang tak kalah hangat dan menarik di rubrik-rubrik lainnya.
Akhirnya, dari balik meja redaksi, kami ucapkan selamat menikmati sajian kami. ***