Meski Pandemi, 139 Sertifikat ISPO Bisa Diterbitkan

0

Meski Indonesia dilanda pandemi Covid 19, sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tetap bisa diterbitkan. Tercatat ada 139 Sertifikat ISPO yang diterbitkan. Hal ini merupakan capaian yang baik untuk kemajuan industri sawit berkelanjutan.

Lahan sawit yang mendapatkan sertifikasi melalui ISPO hingga Juni 2021 mencapai 5,8 juta hektare atau 760 perkebunan sawit. Adapun jumlah sertifikat yang diterbitkan sebanyak 760 yang terdiri dari 746 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 Koperasi Unit Desa (KUD) plasma.

“Kita lihat pencapaiannya semakin maju dan baik, bahkan sebanyak 139 sertifikat diterbitkan selama pandemi,” kata Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani dalam sebuah webinar, Rabu (22/9).

Berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), luasan lahan yang ditargetkan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO adalah sebesar 16,38 juta hektar. Artinya, hingga Juni, jumlah lahan yang disertiikasi baru 35,4% dari target. Sementara itu, jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit nasional yang ditargetkan mendapatkan sertifikasi adalah sebanyak 2.056.

Terbitnya sertifikasi ISPO dibagi berdasarkan tiga periode. Pertama, periode 2011-2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.19 Tahun 2011 dengan jumlah sertifikat ISPO untuk 127 perusahaan. Kemudian, periode 2016-2019 berdasarkan Permentan No.11 Tahun 2015 sebanyak 494 sertifikat. Serta periode 2016-2019 berdasarkan Permentan No. 38 Tahun 2020 sebanyak 139 sertifikat.

Achmad Mangga berharap adanya percepatan implementasi sertifikasi ISPO bagi para pekebun dengan meningkatkan pemahaman dan komitmen pelaku usaha perkebunan, menyegerakan terbentuknya sekretariat komite ISPO, penyediaan dana untuk kegiatan penetapan kelas kebun bagi perusahaan dan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) bagi perkebunan rakyat, serta penyediaan tenaga pendamping pekebun.

“Pembentukan sekretariat komite ISPO sebagai pelaksana harian ini sangat dibutuhkan, kalau bisa disegerakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Ini harus menjadi prioritas kalau kita ingin mewujudkan percepatan sertifikasi ISPO,” kata dia.

Salah seorang penggagas ISPO ini melanjutkan, pengadaan sekretariat sebenarnya sudah diamanatkan oleh regulasi yang mengatur ISPO dan harus bisa menjadi prioritas. “Kalau bisa harus seperti seperti teks proklamasi, Sekretariat ISPO harus diwujudkan dalam waktu sesingkat-singkatnya,” ujar pria yang dijuluki Profesor ISPO oleh stakeholder kelapa sawit nasional itu.

Andai sudah ada sekretariat, menurutnya, Komisi ISPO juga harus dibekali dana. Pendanaan kelembagaan ISPO harus jelas supaya kinerjanya maksimal, termasuk dalam memonitor pemerintah kabupaten yang lamban dalam melakukan klasifikasi perkebunan.

Selain problem infrastruktur ISPO, Manggabarani juga melihat keberterimaan sertifikasi ISPO di dunia internasional masih belum kuat. Berbeda dengan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) yang sudah banyak diakui negara luar.

“Padahal Malaysia hanya 3 atau 4 tahun menyiapkan MSPO, tapi mereka all out, dari hulu ke hilir mereka siapkan. Lah, kita sampai sekarang belum juga tuntas,” tandasnya.

“Bahkan tagline ‘Kelapa Sawit adalah Anugerah Tuhan’, kita yang buat. Tapi justru Malaysia yang mempoluerkannya ke dunia luar, bersamaan dengan kampanye terkait MSPO,” tambahnya.

Adapun pengakuan Jepang terhadap Sertifikasi ISPO pada bahan makanan yang mengandung minyak sawit beberapa waktu lalu, menurutnya, itu bukan mewakili pemerintah setempat karena dilakukan oleh pihak Komite Olimpiade Tokyo. “Itu bukan pengakuan dari pemerintah Jepang,” tegasnya.

Meski begitu, dia mengakui ada kemajuan luar biasa yang diraih Indonesia dalam mengembangkan sertifikasi ISPO. Dalam waktu 10 tahun, sudah 3 kali regulasi terkait ISPO disempurnakan.

Sementara itu, ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan bahwa Gapki sebelumnya menargetkan seluruh anggotanya sudah tersertifikasi ISPO pada akhir 2020, namun terhambat karena adanya pandemi, dan adanya transisi sistem sertifikasi ISPO. Joko menyebut, saat ini sudah 496 anggota Gapki yang menerima sertifikasi ISPO dan akan didorong upaya percepatan sertifikasi para anggota Gapki untuk mewujudkan target 100% anggota tersertifikasi ISPO.

Upaya yang dilakukan pun beragam, seperti melakukan pelatihan dan sosialisasi mengenai ISPO kepada anggota, bahkan Gapki membentuk satu komite khusus yang membidangi implementasi ISPO.

Joko mengakui belum 100% anggotanya mengantongi sertifikat ISPO. Tetapi, ia menegaskan anggota GAPKI tentu serius untuk melakukan ISPO ini, apalagi ini sudah menjadi kewajiban sebaimana diatur dalam Perpres 44/2020.

“Kita tidak ada target lain selain seluruh anggota harus 100% tersertifikasi ISPO. Kita sudah lakukan apa yang bisa kita lakukan, ini tinggal masalah waktu saja,” katanya.

Joko mengatakan dari total jumlah perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat ISPO, 496 diantaranya adalah anggota GAPKI.

“Kita canangkan [100% ISPO] pada tahun 2020, namun ternyata banyak hambatan,” ujarnya.

Hambatan tersebut, menurutnya, tidak hanya pandemi Covid-19 yang membatasi adanya visitasi lapangan untuk auditor, juga karena adanya transisi dari ISPO yang lama ke ISPO yang baru.

Hambatan lainnya adalah dari aspek kelembagaan. Saat ini, Komite ISPO dan Sekretariat ISPO belum terbentuk. Padahal, lembaga ini diperlukan oleh pelaku usaha untuk berkonsultasi karena dalam implementasi ISPO ini ada sejumlah masalah yang perlu dikomunikasikan dan dikoordinasikan.

“Makanya perlu segera aktif itu Komite ISPO maupun Sekretariat sebagai pelaksana harian,” ujarnya.

Komite dan Sekretariat ISPO ini, menurut Joko, juga diperlukan karena ada sejumlah penyesuaian regulasi pasca adanya Undang-Undang Cipta Kerja.

“Jadi faktornya itu ada di semua tempat. Kalau kita bicara percepatan [ISPO], apalagi bicara 100% ISPO itu ada faktor yang memang harus kita selesaikan di internal GAPKI, ada faktor yang harus diselesaikan di pemerintah, ada faktor yang harus diselesaikan misalnya nanti di institusi lain,” ujarnya.

GAPKI sendiri, tambahnya sudah melakukan sejumlah upaya agar anggotanya melakukan sertifikasi. GAPKI misalnya sudah melakukan penyegaran sesuai dengan regulasi yang baru.

“Auditornya perlu kita refresh sehingga dia eligible untuk menangani (handle) sertifikasi di masing-masing perusahaan, karena kalau enggak terkendala dan kita sudah me-refresh semua auditor ISPO di perusahaan,” ujarnya.

GAPKI juga menurut Joko secara konsisten melakukan pelatihan-pelatihan atau clinic ISPO kepada anggota. Bahkan GAPKI sendiri memiliki ketua bidang implementasi ISPO yang mengurus percepatan implementasi ISPO ini.

Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat ME Manurung menambahkan, seluruh petani sawit anggota Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (APKASINDO) sangat mendukung program sertifikasi ISPO. APKASINDO menyadari betapa pentingnya sertifikasi bagi sawit berkelanjutan dan perbaikan nasib petani.

“Kami sangat setuju kalau dikatakan ISPO itu baik. Bahkan kami katakan ISPO sangat sangat baik. Namun, sudah 10 tahun ISPO, baru 18.000 hektar kebun sawit milik petani yang dapat sertifikasi ISPO,” katanya.

Menurut pria yang baru saja meraih gelar doktor di Universitas Riau ini, salah satu kendala yang menyulitkan petani mendapat sertifikasi ISPO adalah persoalan legalitas lahan.

Gulat mengaku memahami hal ini setelah ia dan sejumlah pengurus APKASINDO mengikuti pendidikan sebagai auditor sertifikasi ISPO yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

“Terima kasih kami ucapkan kepada BPDPKS yang telah membiayai pendidikan kami. Dari sini kami tahu apa yang terjadi pada petani sawit terkait ISPO,” ucap Gulat.

Menurutnya, petani telah mengelola kebun dengan baik jika dilihat dari sisi ekologi dan budi daya perkebunan. Hanya saja, banyak petani terbentur oleh peraturan yang terkait dengan kehutanan.

“Perkebunan milik petani sawit bersanding cantik dengan kawasan hutan, 73 persen ada di hutan produksi,” ungkapnya.

Tidak heran kalau sekitar 84 persen petani sawit belum ikut proses sertifikasi ISPO. Sementara 58 persen yang ikut mendaftar, gagal jadi peserta PSR.

“Kami bahkan sudah mendapatkan informasi dari tujuh provinsi sentra perkebunan, 76 persen petani tak mau menjual TBS ke PKS karena kebun mereka dikategorikan masuk dalam kawasan hutan. Akhirnya mereka menjual ke pengepul,” bebernya.

“Bohong ISPO kalau perut petani lapar. ISPO enggak membuat kami kenyang. Kita jangan hanya bicara ISPO tapi rel keretanya gak disiapkan. Relnya apa, ya tuntaskan persoalan kawasan hutan ini,” tegasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini