Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika, menyatakan bahwa produktivitas kakao di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara produsen lainnya.
Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi “Meningkatkan Produksi dan Daya Saing Kakao serta Cokelat Indonesia dalam Menghadapi Regulasi Pasar Global” di Istana Nelayan Restaurant, Tangerang, pada 23 September.
Putu menjelaskan, produksi kakao dunia mencapai sekitar 4,95 juta ton per tahun, dengan sebagian besar kakao diproduksi di Afrika Barat, terutama di Pantai Gading dan Ghana, yang menyumbang hampir 60 persen dari total produksi global.
Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai produsen kakao di dunia, dengan produksi mencapai 160.000 ton per tahun.
“Produktivitas kakao di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain, hanya mencapai sekitar 0,5 ton per hektare per tahun, yang lebih rendah dibandingkan Ghana dengan produktivitas 0,9 ton per hektare,” kata Putu
Putu menjelaskan, Indonesia mengalami penurunan produksi kakao sebesar 8,3 persen per tahun selama periode 2015 hingga 2023. Akibatnya, ketergantungan pada impor kakao meningkat, dari 239.377 ton menjadi 276.683 ton pada tahun 2023.
Dia juga menyebutkan bahwa kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat, yang menguasai 99,19 persen lahan. Sayangnya, lanjut dia, sebagian besar kebun tersebut terdiri dari tanaman tua yang kurang produktif.
“Dari total 1,46 juta hektare lahan kakao, sebanyak 67 persen di antaranya merupakan tanaman yang sudah tidak menghasilkan atau memiliki produktivitas rendah,” kata Putu.
Di sisi lain, harga biji kakao dunia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, harga biji kakao mencapai level tertinggi sebesar USD 9.723 per ton.
“Kenaikan harga ini terutama dipicu oleh permintaan global yang terus meningkat, sementara pasokan kakao dari negara-negara penghasil utama belum mampu memenuhi permintaan tersebut secara optimal,” kata dia.
Sejalan dengan itu, konsumsi produk kakao juga mengalami peningkatan, terutama di negara-negara konsumen terbesar seperti Amerika Serikat, Jerman, Belgia, Inggris, dan Belanda. Di negara-negara ini, konsumsi per kapita mencapai 4-10 kg cokelat per tahun.
“Meskipun permintaan tinggi di pasar global, kontribusi ekspor kakao dan produk cokelat Indonesia masih relatif kecil. Pada tahun 2023, Indonesia hanya menyumbang 0,98 persen dari total kebutuhan kakao di lima negara pengonsumsi terbesar tersebut,” ujar Putu.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dan industri kakao Indonesia terus berupaya memperkuat daya saing produk kakao nasional. Salah satu strategi yang diterapkan adalah meningkatkan kualitas biji kakao melalui perbaikan rantai pasok dan kemitraan dengan petani lokal.
“Selain itu, Indonesia juga harus memanfaatkan peluang pasar yang masih terbuka luas, baik di Eropa maupun di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, China, dan India,” pungkas Putu.