Program Mandatori Biodiesel Tingkatkan Serapan CPO dalam Negeri

0
biodiesel aprobi
Ilustrasi biodiesel. (Foto: Ist)

Program mandatori biodiesel yang dijalankan pemerintah tidak hanya menekan impor solar, tetapi juga mengoptimalkan penyerapan CPO nasional, yang pada akhirnya memperkuat ketahanan energi dan mendukung kestabilan harga Tandan Buah Segar (TBS) di hulu.

Saya kira ini langkah strategis ya yang diambil oleh pemerintah. Tentunya kita sangat mendukung,” Presiden Direktur (Presdir) PT Mahkota Group Tbk (MGRO), Usli Sarsi, dalam dialog CNBC TV baru-baru ini di Jakarta.

Saat ini, sekitar 65 persen produksi CPO industri masih bergantung pada pasar ekspor. Dengan kebutuhan CPO domestik yang lebih besar karena program B40, diharapkan industri sawit dapat memperoleh kepastian serapan yang lebih besar di dalam negeri.

“Kita bisa mengurangi impor BBM solar, tapi juga demand side-nya itu kan secara domestik penyerapan CPO kita akan lebih stabil. Tentunya ujung-ujungnya harga TBS di hulu juga bisa lebih stabil,” tutur Usli.

Lebih jauh lagi, dengan program mandatori biodiesel, Indonesia turut menjawab tantangan isu lingkungan, seperti yang tercantum dalam Paris Agreement, dengan komitmen untuk mencapai zero emisi pada 2060.

“Biodiesel ini, seperti kita ketahui bersama kan adalah energi hijau berkelanjutan. Jadi, sekaligus kita bisa menjawab tantangan isu lingkungan seperti Paris Agreement yang kita komitmen untuk kita zero emisi sampai dengan 2060,” kata dia.

Usli meyakini, jika semua stakeholder bekerja sama untuk mengurangi emisi karbon setiap tahunnya, Indonesia akan dilihat sebagai pionir dalam perlindungan lingkungan hidup.

“Saya kira, kalau kita semua stakeholders sama-sama membuat emisi ini tiap tahun ke depan bisa mengurangi emisi karbon, saya kira Indonesia akan dilihat sebagai pioner di dalam lingkungan hidup,” kata Usli.

Namun demikian, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk program biodiesel, produksi sawit juga perlu didorong untuk meningkat.

“Kalau kita lihat produksi kita sekarang ini sekitar 47 juta ton per tahun. Untuk dapat mendukung penerapan biodiesel B50 dan seterusnya, produksi sawit harus ditingkatkan,” ungkap dia.

Menurut Usli, untuk meningkatkan produktivitas sawit, selain melakukan peremajaan sawit (replanting), yang juga tidak kalah penting adalah menjaga kesuburan tanah.

“Ini yang jarang dibicarakan. Karena sekarang ini kan bukan hanya perkebunan, tapi pertanian juga, ketahanan pangan kita itu harus dijawab dengan pemakaian pupuk organik, pupuk kompos,” tutur Usli.

Dia mengatakan bahwa dengan mengombinasikan pupuk kimia dan pupuk kompos, pemakaian pupuk kimia bisa dikurangi hingga 70 persen.

“Saya kira kita hanya bisa menggunakan kombinasi pupuk kimia dengan pupuk kompos, kita bisa menggantikan 70 persen dan itu berlimpah,” kata Usli.

Usli mengatakan,saat ini pihaknya tengah mengelola limbah sawit, seperti yang dilakukan di Riau. Mereka telah menginvestasikan sekitar 1,1 triliun untuk pengelolaan limbah sawit, yang diproses menjadi biogas dan dapat mengurangi penggunaan solar.

Dengan limbah sawit, terutama endapan yang dihasilkan dari proses bakteri di limbah, satu PKS (Pabrik Kelapa Sawit) bisa menghasilkan ribuan ton. Limbah ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos.

Dan seperti petani supplier kita, mereka bawa TBS ke pabrik kita, kemudian mereka juga bawa pulang kompos untuk kebun mereka,” pungkas dia,

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini