
Industri Hasil Tembakau (IHT) telah memberikan kontribusi tidak sedikit bagi penerimaan negara. Pada tahun 2024, IHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT).
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara, menekankan bahwa kontribusi besar ini menunjukkan betapa IHT menjadi salah satu sektor yang memberikan dampak besar terhadap negara.
“Ini kalau saya tidak salah tidak ada satu industri pun di Indonesia ini yang bisa berkontribusi demikian besar terhadap negara,” kata Budhyman pada acara Silaturahmi dan Buka Puasa Bersama di Jakarta Selatan, Rabu (11/3).
Di samping kontribusi besar terhadap penerimaan negara, sambung dia, IHT menjadi salah satu sektor strategis yang melibatkan sekitar 6 juta orang, termasuk 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, serta pekerja dan pedagang.
“Kita punya 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, pekerja kita juga cukup banyak, sehingga memang menjadi andalan, industri andalan,” kata Budhyman.
Meski demikian, dia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap berbagai regulasi yang mengelilingi ekosistem pertembakauan, yang menurutnya kurang mendukung.
Regulasi-regulasi ini, kata Budhyman, dapat berdampak negatif pada penyerapan tenaga kerja serta menurunnya produktivitas petani yang menggantungkan hidupnya pada industri IHT.
Di antaranya adalah polemik implementasi Pengamanan Produk Tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan implementasi Peraturan Daerah untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR).Â
Budhyman juga menyoroti dorongan kewajiban penyeragaman kemasan rokok polos dalam R-Permenkes yang sedang disusun saat ini. Dia menyebutkan, pasal penyeragaman kemasan rokok polos ini sarat dengan pengaruh oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.
“Mengapa kita, sebagai negara yang berdaulat, harus berkiblat pada FCTC, yang notabene Indonesia sendiri tidak ikut meratifikasinya. FCTC juga bukan landasan hukum kita. Sehingga mengapa dalam menentukan arah kebijakan pertembakauan yang potensi dan kontribusinya begitu besar, harus berkiblat pada asing?” ujar Budhyman.Â
Dia menilai ada intervensi kepentingan asing dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.
“Pemerintah telah dengan bijak tidak meratifikasi FCTC dengan mempertimbangkan rantai ekosistem pertembakauan di Indonesia sangat kompleks, saling terkait mulai dari hulu hingga hilir, dan sangat berbeda dengan negara-negara yang menjadia acuan FCTC. Jangan lah sampai terkait kesejahteraan masyarakatnya sendiri, sampai kita harus diintervensi asing,” kata Budhyman.
Budhyman menekankan pentingnya dukungan pemerintah melalui peraturan yang adil, berimbang, dan mendorong ekosistem pertembakauan untuk tetap tumbuh dan berkembang. Keterlibatan para pemangku kepentingan di IHT merupakan keniscayaan untuk mencapai tujuan tersebut.
“Target yang menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional tentu akan sulit terwujud jika salah satunya tidak ada perlindungan dan keberpihakan terhadap IHT,” ujar Budhyman.
Menurut dia, tembakau bukan sekadar komoditas andalan petani di musim kemarau, melainkan telah menjadi warisan, dan budaya yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Sehingga, sudah seharusnya IHT dilindungi, diberi kesempatan untuk bertumbuh, mandiri dan berdaya saing.
“IHT perlu didukung pemerintah melalui peraturan yang mendorong keberlanjutan IHT, bukan mematikannya. Seluruh pemangku kepentingan di ekosistem ini siap untuk bekerja sama dengan pemerintah dan terlibat aktif berdiskusi dan memberikan masukan dalam penyusunan berbagai peraturan baik di level pusat maupun daerah,” imbuh Budhyman.