Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengusulkan agar pemerintah menghentikan program Minyakita dan menggantinya dengan bantuan langsung tunai (BLT).
Sahat menilai program Minyakita, yang dimulai pada tahun 2022, telah menyebabkan dominasi yang berlebihan di pasar minyak goreng, sehingga mengurangi persaingan yang sehat antar produsen minyak.
“Ini udah menyalahi regulasi. Jadi, di pasar itu sudah lebih dominan Minyakita dibandingkan dengan minyak yang lain. Jadi sudah tidak ada kompetisi,” kata Sahat pada acara Buka Bersama di Jakarta, Rabu (12/3).
Padahal, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selalu menekankan pentingnya menjaga persaingan yang sehat di pasar. “KPPU selalu menekankan tidak boleh ada monopoli. Jadi, harus ada kompetisi,” tambah dia.
Oleh karena itu, Sahat mengajak pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk berpikir lebih jauh ke depan dan mencari solusi terbaik bagi industri minyak goreng dan masyarakat.
“Kita harus berpikir tahun depan ini bagaimana? Dari kejadian-kejadian ini, kita harus membuat satu terobosan, apa yang terbaik bagi Republik Indonesia ini,” ungkap Sahat.
Sahat merasa prihatin karena harga minyak goreng dalam negeri selalu melonjak setiap Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN). Padahal, Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.
“Selalu, anggota yang terhormat di legislatif mengatakan bahwa kita adalah produsen terbesar, tapi kenapa harga minyak goreng kita tetap tinggi? Saya kira itu masuk akal. Jadi, jika saya berpendapat, pemerintahlah yang harus membuat regulasi yang membedakan produk minyak untuk kebutuhan domestik dengan minyak untuk ekspor,” kata dia.
Dia menyarankan agar harga minyak untuk domestik lebih rendah, mengingat Indonesia adalah penghasil terbesar. “Nah, minyak untuk ekspor itu juga harus diregulate, jangan diserahkan kepada perusahaan asing untuk mengatur harga kita,” ujar dia.
Lebih lanjut, Sahat mengusulkan perubahan dalam bentuk bantuan sosial bagi masyarakat miskin. Dia menyarankan agar bantuan tidak lagi diberikan dalam bentuk produk Minyakita, melainkan melalui BLT.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 25,4 juta orang Indonesia berpendapatan rendah. Dengan asumsi konsumsi minyak goreng per orang mencapai 8 kilogram per tahun, total kebutuhan minyak goreng untuk kelompok ini sekitar 100 ribu ton per tahun.
“Pembagiannya itu jangan berupa produk, lebih baik BLT. Nah, BLT itu daftarnya kan ada di Departemen Sosial. Kita berikan ke Departemen Sosial,” jelas Sahat.
Sahat menambahkan bahwa program BLT ini tidak perlu membebani anggaran pemerintah, melainkan bisa diambil dari levy yang diterapkan pada ekspor.
“Dananya dari mana? Tidak, dari pemerintah. Itu dari levy aja kita ambil. Bahwa pemerintah akan menempatkan levy misalnya 1-2 dolar, itu kita tahu lah tujuannya itu untuk apa,” kata dia.
Dengan cara ini, menurutnya, sistem akan lebih aman dan stabil. “Nggak ada lagi kejadian inilah, sehingga branding-branding yang lain juga bisa hidup,” ujar Sahat.
Sahat pun berharap agar program seperti ini bisa dijalankan oleh pemerintah, sehingga tidak lagi terjadi kericuhan tiap kali Lebaran atau momen besar lainnya. “Kan nggak enak gitu kerja,” imbuh dia.