BPDPKS Siap Lanjutkan Pembangunan Sawit Berkelanjutan

0

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak terbentuk pada 2015 telah mengumpulkan total dana pungutan sawit sebesar Rp 186,6 triliun hingga saat ini. Dana tersebut digunakan untuk program pengembangan sawit berkelanjutan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman dalam CNBC Indonesia Special Dialogue, baru-baru ini. Menurutnya, dana yang dikumpulkan dari pungutan ekspor selama ini telah digunakan untuk membiayai program pengembangan sawit berkelanjutan, yakni sebesar Rp 186,6 triliun.

Dana yang dikumpulkan tersebut, kemudian digunakan untuk program peremajaan sawit (PSR) untuk perkebunan yang dianggap sudah tidak produktif. Pasalnya usia tanaman lebih 25 tahun produktivitasnya akan menurun, sehingga perlu peremajaan.

“Sampai saat ini BPDPKS sudah menyalurkan dana untuk program PSR mencapai Rp 7,78 triliun. Untuk mendanai pelaksana peremajaan sawit seluas 22.849 hektar, melibatkan 124 pekebun yang tersebar di 21 provinsi,” kata Eddy.

Selain itu, BPDPKS juga mendanai pengawasan penyediaan saranan dan prasarana mulai dari bibit, pupuk, pestisida hingga alat pertanian. Hingga Mei 2023, dukungan sarana telah diberikan untuk 26 lembaga pekebun senilai Rp 72,3 miliar.

Program penelitian dan pengembangan juga dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Hingga kini sudah disalurkan Rp 519,67 miliar untuk penelitian oleh 78 lembaga.

“Pengembangan SDM juga dilakukan kepada 11.088 orang pekebun, dan beasiswa diberikan kepada 3.265 mahasiswa. Untuk pengembangan SDM, BPDPKS telah menyalurkan Rp 356,52 miliar,” katanya.

Eddy menambahkan, saat ini harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) tahun ini berpotensi menghadapi tantangan dari sisi permintaan. Pasalnya, ada potensi penurunan permintaan dari India dan China. Padahal, katanya, kedua negara tersebut adalah importir CPO dari Indonesia terbesar.

“Harga mungkin akan berada di dalam kisaran US$850-900 per metrik ton. Pengaruh demand, produksi yang bagus, stok di Indonesia dan Malaysia bagus, sehingga supply menjadi lebih banyak. Demand agak turun sedikit, terutama di negara-negara importir terbesar seperti India dan China,” tambahnya.

Belum lagi, lanjut dia, Uni Eropa tengah memberlakukan kebijakan yang menjegal minyak sawit.

“Apalagi Eropa sekarang memberlakukan regulasi-regulasi yang pada dasarnya membatasi masuknya sawit ke sana. Kira-kira harganya seperti itu lah,” kata Eddy.

Dia mencontohkan langkah Uni Eropa (UE) yang memberlakukan Undang-undang (UU) Anti-Deforestasi (EUDR). Menurutnya, hal itu di antaranya dipicu oleh daya saing minyak sawit yang lebih tinggi. Di mana, sawit memiliki produktivitas lebih tinggi sehingga lebih kompetitif dalam perdagangan minyak nabati internasional.

“Sehingga bagi negara penghasil minyak nabati di luar sawit, ini menjadi tantangan. Saya lebih melihat ini kompetisi bisnis sehingga mereka mengambil langkah untuk melakukan kampanye negatif agar menjatuhkan sawit, meng-exclude minyak sawit dari perdagangan nabati dunia,” papar dia.

Banyak isu yang disampaikan, dari kesehatan, isu HAM, deforestasi. Uni Eropa sudah menerapkan Undang-undang yang mengatur agar produk yang dihasilkan dari deforestasi tidak masuk ke Uni Eropa. Ini, ujarnya, gencar dilakukan Uni Eropa.

Kondisi harga itu, akan berdampak pada target penerimaan pungutan ekspor sawit dan turunannya yang dikelola BPDPKS. “Tahun 2023 ini terjadi penurunan harga CPO dibandingkan tahun 2021 dan 2022. Sehingga penerimaan pungutan ekspor tahun ini kira-kira mencapai Rp30-an triliun,” katanya.

Di sisi lain, dia mengakui, harga CPO yang cenderung turun akan menguntungkan karena akan mempersempit gap harga solar dan biodiesel. Yang kemudian mempengaruhi penyaluran dana BPDPKS untuk insentif biodiesel.

Eddy juga menjelaskan bahwa dasar hukum melakukan penghimpunan dana, sebagai sumber penerimaan utama BPDPKS bersumber dari penerimaan Pungutan Ekspor Kelapa Sawit yang terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 154/PMK.05/2022. “Penerimaan yang bersumber dari pungutan ekspor dimulai dari 2015 sampai Mei 2023,” ujarnya.

Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga menambahkan, semua pungutan atas ekspor minyak sawit dimasukkan ke dalam pengelolaan BPDPKS. Mulai dari pungutan ekspor maupun bea keluar (BK), di mana besaran keduanya ditetapkan berdasarkan jenis produk sawit yang diekspor.

Saat ini, BPDPKS memang hanya mengelola dana pungutan ekspor, yang sudah terhimpun sebesar Rp186,6 triliun. BPDPKS sendiri sudah terbentuk sejak tahun 2015.

Sebagian dana yang terhimpun tersebut di antaranya sudah dialokasikan untuk peremajaan sawit rakyat seluas 282 ribu ha. Lalu, Rp72,3 miliar untuk 26 lembaga pekebun yaitu gabungan kelompok tani. Juga, Rp356,52 miliar untuk pengembangan SDM sampai litigasi gugatan atas diskriminasi terhadap sawit ke lembaga internasional seperti WTO.

Dan, salah satu tujuan utama pembentukan BPDPKS adalah penyaluran anggaran untuk insentif bahan bakar biodiesel, yang sudah mencapai Rp164,56 triliun, menjangkau 48,19 juta kiloliter.

“Minyak sawit kita itu emas. Untuk tetap jadi emas butuh advertising dan lain-lain. Karena itu, usulan saya dana PMK (bea keluar ekspor sawit) agar dimasukkan juga ke dana pungutan (BPDPKS). Agar lebih besar dan bebas bergerak ke depan,” kata Sahat. ***ADV

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini